01 - Beli Cilok atau Rumah?

1.5K 176 34
                                    

"Dorrr!"

Tak ada respon sama sekali dari orang yang dikejutkan. Pemuda kecil itu menghela kemudian tersenyum kecil. Wajah kusut dari gadis yang tengah duduk di pinggir rumah pohon membuat si pemuda ikut mendudukkan diri di sana.

"Kamu ngambek, Ay?"

Hanya helaan napas berat yang diterima sebagai jawaban. Ulfaya Syafira, gadis kecil bergaya rambut bob itu menatap tajam pemuda di sampingnya sejenak. Ia lalu kembali menatap pepohonan di depan sambil memberenggut dan tangan bersedekap.

"Telat banget, mah, ini. Udah jam berapa sekarang?" tanya Ulfa ketus.

Andara, pemuda beriris hazel itu menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Sekarang sudah hampir jam dua belas, sedangkan mereka berjanji bertemu jam sepuluh. Itu artinya, ia telat hampir dua jam.

"Maaf, ya, Ay. Semalem mabar sama temen sampai tengah malem. Jadi bangunnya kesiangan, deh," ucap Anda dengan menampilkan wajah memelas.

Gadis itu tampak tak menggubris, bahkan tak ingin. Wajahnya semakin ditekuk dalam pertanda kekesalannya telah memuncak. Lagipula, siapa yang tidak marah jika harus menunggu selama itu. Seperti artis saja.

Anda hampir menyerah, tapi tak juga. Sebenarnya ia punya sejuta cara untuk membujuk sahabatnya itu. Setelah menghela napas berat, ia memberanikan diri untuk membujuk lagi.

"Aya masih ngambek sama Anda?"

Ulfa masih diam.

"Ay, ayo, dong." Anda menarik lengan Ulfa, berharap gadis itu tidak kesal lagi. "Jangan ngambek, ih. Nanti Anda nggak beliin es krim lagi, lho."

"Terserah," sahut Ulfa ketus.

"Lahh ... Ay. Huwaaa ... Anda nangis, nih." Anda membuat ekspresi wajahnya seperti orang menangis. Semoga saja caranya yang ini berhasil.

Ulfa melirik dengan sudut matanya. Ia bingung, tentu saja. Sekarang siapa yang sebenarnya harus dibujuk.

"Aya yang ngambek, kenapa Anda yang nangis? Nanti yang ngebujuk siapa?" Ulfa benar-benar bingung.

Anda menoleh dengan bibir menekuk ke bawah. "Lagian Aya ngambek, Anda nangis aja kalo gitu."

Gadis kecil itu menghela napas berat sebelum akhirnya berkata, "Ya udah, Aya nggak ngambek lagi. Tapi ... ada syaratnya, dong."

"Anda bakal lakuin apapun supaya Aya nggak ngambek lagi."

Ulfa mengulum senyumnya. "Aya laper banget. Beliin cilok di depan rumah, ya?"

Anda berpikir untuk beberapa saat. Apa sahabatnya itu serius? Ingin bertanya lebih, takutnya si kantong malah bolong. Ia, kan, hanya anak usia sebelas tahun yang masih minta uang pada orang tua.

"Emh ... cuma itu aja, Ay?" ucap Anda kemudian.

Ulfa tersenyum jahil. "Beliin rumah sekalian biar kita bisa tinggal berdua."

"E-eh ...?" Tiba-tiba Anda tak dapat berkata apapun. Ia berada di antara bingung dan terkejut.

Tawa Ulfa seketika pecah. Apalagi wajah blasteran Eropa itu sungguh menggemaskan. Jika Anda adalah kue, Ulfa pasti sudah melahapnya habis.

"Ya udah, ah. Aya cuma bercanda, kok. Ayo, beliin Aya cilok goceng." Tanpa menunggu jawaban dari Anda, Ulfa menarik si pemuda untuk ikut bersamanya. Perutnya benar-benar tidak bisa diajak kompromi lagi.

***

Sepasang anak kecil itu duduk dengan santai di ayunan sebuah taman. Tentu saja dengan sebungkus cilok di tangan masing-masing.

Ini terbalik. Ulfa makan dengan sangat lahap, sedangkan Anda sendiri menghayati setiap gigitan cilok yang kenyal itu. Tidak hanya mulutnya yang makan, bahkan pipi Ulfa juga ikutan. Anda sendiri seakan seperti makan menggunakan slow motion, lama!

"Makannya pelan-pelan, Ay. Anda nggak minta, kok." Dengan mata terpejam, Anda berkata. Ia tahu persis seperti apa sahabatnya saat tengah lapar. Ya, seperti itu. Bayangkan saja sendiri.

Ulfa terdengar mengeram. "Biarin. Laper!"

"Tenang, Anda beliin lagi, kok," kata Anda lagi. Kali ini pandangannya hanya berfokus pada Ulfa.

"Aya maunya rumah."

Anda terkejut, tentu saja ... ya! Tapi tidak juga. "Iya, nanti untuk masa depan kita, ya."

"Sama cilok yang banyak juga," imbuh Ulfa dengan senyum sumringah.

Pemuda itu mengangguk sembari tersenyum tipis. Ia lantas mengeluarkan sapu tangan dari saku celananya. Menghapus sisa makanan yang tertinggal di sudut bibir dan pipi Ulfa.

Setelah selesai, Ulfa dan Anda kembali melanjutkan acara makan mereka. Kali ini lebih santai, tidak cepat juga tidak lambat. Rasanya begitu nikmat memakannya sambil menatap langit yang biru cerah tanpa awan itu.

"Anda, kalo misalnya kita udah besar, kita ngapain, ya?" Ulfa bertanya dengan gumpalan besar di pipi kanannya.

Anda berpikir sejenak. Sebenarnya ia sama sekali tak pernah terpikir tentang masa depan. Apa yang membuatnya bahagia sekarang, maka itu yang ia jalani.

"Hmm ... apa, ya? Mungkin ... Anda bakal jadiin Aya pacar."

Semilir angin kemudian bertiup. Ulfa memiringkan kepalanya, berpikir apa rasanya itu pacaran.

"Apa enaknya pacaran, sih, Nda?"

"Anda juga nggak tau. Keliatannya enak aja. Mereka bisa bilang sayang kapan aja," jawab Anda dengan pandangan mengarah ke langit.

"Tau darimana emang?"

"Di TV."

Ulfa tertawa kencang, sama sekali tidak menggambarkan ia adalah gadis feminin. Padahal rok selututnya menggambarkan hal tersebut.

"Makanya, Anda jangan kebanyakan nonton sinetron. Nonton azab sekali-sekali," tukas Ulfa di sisa tawanya.

Anda menatap Ulfa yang masih tertawa dengan kesal. "Biarin, ah. Kan belajar untuk masa depan nanti biar Anda bisa jadiin Aya pacar."

"Kalau sekedar ngomong sayang, mah, Aya juga bisa kali." Ulfa bangkit. Ia sekarang tengah berdiri di atas ayunan dengan berpegangan pada besi.

"Aya sayang sama Anda!" pekik Ulfa yang membuat Anda menggeleng.

"Turun, Ay. Nanti kamu jatuh."

Ulfa mengayunkan ayunan tersebut sambil tertawa girang. "Sekarang kita udah pacaran, kan, Nda?"

***

[02/05/20]

To be continued.

Hola!
Apa kabar? Semoga selalu baik, ya!
Jangan lupa jaga kesehatan, soalnya sekarang udah banyak banget virus :)

Gimana sama bagian pertama? Ngerasa kayak memahami doi yang nggak peka-peka, ya? :'v

K, forget that 😂

But hope you like it ;)

See yaa! 🖤

23.59 [ lengkap ]Where stories live. Discover now