03 - Tiupan Harapan

672 132 19
                                    

"Anda bakal balik, nggak, ya?"

Gadis kecil itu duduk di tepi tempat tidurnya dengan wajah ditekuk. Di tangannya, ada selembar kertas yang tadi pagi diberikan oleh Anda.

Setitik air mata membasahi pipinya. Pikiran negatif menggerayangi kepalanya. Bagaimana jika nanti Anda-nya tidak kembali? Bagaimana jika Anda sudah kembali tapi tidak mengenalinya?

Sembari mengelap air mata dengan lengan pakaiannya, Ulfa menggeleng keras. "Enggak, Anda pasti balik. Anda pasti nepatin janjinya. Anda nggak bakal ingkar janji."

Ia menggulung kembali kertas gambaran Anda. Ulfa lantas meletakkannya di atas nakas di samping tempat tidur. Membaringkan tubuhnya, dia hendak masuk ke dalam mimpi.

"Malam, Anda. Mimpiin Aya, ya. Cepet balik, Aya udah rindu."

***

Dua bulan kemudian ....

"Maaa!"

Wanita yang tengah memotong bawang di dapur hampir saja memotong jarinya sendiri. Ada apa lagi dengan anak itu? Baru saja hendak memeriksa, ia mendapat pelukan di pinggangnya.

"Ada apa, sayang? Kenapa kamu teriak-teriak gitu?"

"Maaa ... buatin Aya kue ulang tahun, ya?" pinta gadis itu dengan suara memelas. Ia tambah mengeratkan pelukannya pada sang ibu.

Rere mencuci tangannya di westafel. Ia bingung mengapa anaknya tiba-tiba meminta dibuatkan kue ulang tahun.

"Ulang tahun yang lalu kamu Mama beliin kue nggak dihabisin. Alasannya nggak suka kue yang terlalu manis." Rere mensejajarkan tinggi tubuhnya dengan sang putri yang membuat pelukannya terlepas.

Gadis itu mengerucutkan bibirnya. "Aya memang nggak suka. Tapi Anda suka, Ma."

Wanita itu tersenyum teduh. Ternyata itu alasan putrinya. "Oke, Mama bakal buatin. Tapi kamu janji, ya, bakal habisin."

"Siap, Ma!" Ulfa memberi hormat pada ibunya dengan senyum sumringah. Ia kemudian berlari kembali ke kamarnya dengan bersemangat.

Rere menatap punggung putrinya sambil tersenyum miris. Selama ini, gadisnya tak henti bertanya tentang pemuda kecil itu, Anda. Gadisnya menjadi sedikit lebih murung. Jika saja ia punya nomor ponsel keluarga Anda, maka ia akan menghubungi untuk menyenangkan hati Ulfa.

***

"Selamat ulang tahun, Anda!"

Gadis kecil itu meniup lilin yang tertancap di atas kue dengan semangat menggelora. Kue tersebut ia letakkan di atas pangkuannya dengan kaki menjuntai dari atas rumah pohon.

"Anda nggak ngucapin selamat ulang tahun untuk Aya juga? Kan kita ulang tahunnya barengan." Nada bicaranya berubah sendu saat ia menatap langit. Berharap, ia menemukan wajah pemuda kecil itu di sana.

"Walaupun siang, Aya masih liat bintangnya, kok. Jadi, bintang, kasih tau ke Anda, ya, kalo Aya rinduuu banget sama dia."

"Bilang cepet balik. Soalnya Aya udah sayang."

Ulfa menunduk menatap kue di pangkuannya. Terdapat lilin berangka duabelas di sana. Seandainya mereka bisa seperti dulu. Meniup lilin bersama-sama, memotong, dan memakan kue coklat kesukaan Anda.

Gadis itu menitikkan air matanya. Ia merindukan momen itu. Ia rindu dijahili oleh Anda-nya. Ia rindu disuapi oleh tangan mungil pemuda itu.

"Anda kapan baliknya? Aya nggak suka sendirian."

***

Bertahun-tahun berlalu. Gadis itu masih setia menunggu. Tak ada kabar apapun dari Anda-nya. Ia hanya bisa menitipkan pesan rindunya kepada bintang sebelum ia tidur.

Setiap ulang tahunnya, Ulfa selalu meminta hal yang sama pada sang ibu. Kue coklat dengan lilin berangka. Ia selalu merayakan ulang tahunnya di rumah pohon. Tempat di mana mereka selalu bercanda.

Di setiap tiupan lilinnya, Ulfa berharap bisa bertemu dengan pemuda itu lagi. Ada sebuah rasa yang tak terbendung. Bukan hanya sekedar rasa rindu.

"Wahhh ... nggak kerasa, ya, kita udah 16 tahun aja."

Ulfa menatap langit malam yang bertabur bintang. Bulan sabit juga ikut menghias cerahnya malam di hari tersebut.

"Nggak kerasa juga kalo Anda udah ninggalin Aya 4 tahun 2 bulan." Ulfa tertawa hambar. "Jangan kira Aya nggak ngitung, ya. Aya bahkan masih inget hari apa Anda pergi. Hari Rabu, kan?"

Gadis itu menghela napas panjang. Ia sebenarnya tidak ingin menangis. Namun, emosinya tak dapat terbendung lagi. Air mata itu selalu tak dapat tertahankan jika sudah di hari ulang tahunnya.

"Memangnya Anda pergi kemana, sih, kok lama banget?" Ulfa mengusap air mata yang hampir jatuh dari dagunya. "Padahal banyak banget yang pengen Aya ceritain."

"Heheh. Anda pasti nggak denger, ya?
Anda ... Anda, tau, nggak?" Ulfa berkata seperti ada pemuda itu di hadapannya. "Di sini Aya kesepian. Sunyi. Nggak ada yang ngajak Aya main. Pasti Anda di sana ada temennya. Apa Anda nemuin orang baru yang lebih asik daripada Aya? Apa karena itu Anda nggak balik?"

"Anda ... rinduuu!!"

Gadis itu menutup matanya sejenak. Ia merasakan angin malam yang berembus lembut menerpa wajah hingga membuat rambut panjangnya beterbangan. Sejenak, ia seperti merasakan keberadaan Anda-nya. Namun, dalam kenyataan, itu hanya halusinasinya semata.

"Aya khawatir bintang sibuk nyampaikan banyak rindu ke semua orang, jadi dia nggak sempet bilang kalo Aya udah rindu banget sama Anda."

"Anda tau, nggak, sih, Aya sebenarnya sayang banget sama Anda. Kepergian Anda itu kayak kehilangan pulpen di kelas. Aya jadi nggak bisa nulis."

Ulfa menghela napas panjang. Tangisnya belum usai, malah akan bertambah deras.

"Anda ternyata pergi nggak sekedar meninggalkan rasa rindu. Nyatanya, dari rasa itu muncul sebuah rasa yang lebih dari apa yang kita pikirin selama ini."

"Aya sayang sama Anda lebih dari seorang sahabat."

Gadis itu menutup wajahnya. Ia menangis histeris tanpa diketahui siapapun. Angin yang menerpanya seakan mengambil pesan yang bertahun-tahun tak tersampaikan.

Kakinya menapak kokoh di papan rumah pohon itu. Ia berdiri kokoh dengan isakan parau. Tangannya memegang semangkuk kue tart yang selalu ia bawa saat ulang tahunnya.

"Harapan Aya masih sama. Aya berharap, Anda segera balik. Aya berharap hari-hari Aya bisa berwarna kayak dulu waktu kita masih bersama."

Dengan isakan yang masih terlontar dari bibirnya, Ulfa meniup lilin berangka 16 di atas kue tersebut. Air matanya kembali menetes.

"Selamat ... ulang tahun. Untuk Anda ... dan juga Aya. Semoga ... kita cepet ketemu, ya. Aya akan selalu sayang sama Anda. CATET!"

Ia kembali memandang langit. Malam semakin larut. Ulfa harus segera pulang jika tak ingin ibunya mengomel panjang.

"Aya pulang dulu, ya, Anda. Soalnya besok mau sekolah. Anda juga, kan?"

"Dadah!"

***

[09/05/20]

To be continued.

Hola! Kami balik lagi, woi. Hahah

I really hope that someone will read this story. Not just one, but many :'v

Okay, semoga suka!

Leave your love for us ☆

See yaaa! 🖤

23.59 [ lengkap ]Where stories live. Discover now