35; breakfast

2.8K 332 35
                                    

Tidak seperti pagi yang lalu-lalu, hari ini Jeonghan terbangun tanpa kehampaan dalam hatinya. Meski sisi ranjangnya kosong namun suara desisan yang ditimbulkan oleh penyatuan minyak dan telur menandakan seseorang ada disana untuknya.

Jam dinding menunjukkan pukul sembilan, Jihoon seharusnya sudah berangkat sekolah sekarang dan Seungcheol sudah bersiap ke kantor, namun suara lelaki itu terdengar dari dapur.

Ia pun berjalan sempoyongan ke dapur karena masih lesu meski merasa lebih baik sekarang.

"Jeonghan, sudah lebih baik?" Seungcheol sangat khawatir sehingga ia meningglkan penggorengan dan membantu Jeonghan duduk di kursi makan.

"Aku baik-baik saja." Ia mengulas senyum tipis. "Kau membuat sarapan?"

"Ya, kau tidak keberatan dengan roti isi telur dan bacon kan?"

"Tentu." Sahut Jeonghan. "Aku akan membantumu menyiapkan piring."

"Tidak. Kau duduk saja karena--"

"Aku akan siapkan piring." Jeonghan bersikeras. Akhirnya Seungcheol mengalah dan membiarkan lelaki itu menyediakan piring sementara dirinya sendiri fokus menggoreng.

Ia memperhatikan gerak-gerik Jeonghan lalu bertanya-tanya mengapa lelaki itu mengambil piring dari dua tempat. Seingatnya pula dulu mereka tidak menyimpan piring di lemari atas.

"Kenapa beberapa alat makan ada di lemari atas?" Tanya Seungcheol, setengah berbasa-basi.

"Ah, itu." Sejenak si pirang terdiam. "Jangan menyiapkan makan Jihoon menggunakan alat makan di atas, Seungcheol."

Dahi Seungcheol berkerut. "Kenapa?"

"Hanya...jangan saja." Wajah Jeonghan berubah sedih. Seungcheol hanya terus  memperhatikan dan memutuskan untuk tidak bertanya lagi. Mungkin saat ini Jeonghan punya alasan yang tak bisa ia beritahukan. Mungkin juga rasa percaya Jeonghan padanya sudah nol karena berbohong waktu itu.

Setelah menghidangkan makanan ke atas piring, Jeonghan mengajaknya sarapan di kamar tidur. Jeonghan ingin menghabiskan waktu seperti yang biasa mereka lakukan dulu karena sangat merindukannya.

"Kurasa kau akan terlambat ke kantor hari ini." Ujar Jeonghan sambil mengunyah makanannya.

"Hari ini aku izin. Aku akan merawatmu sampai malam, kurasa." Ia menjawab sambil mengusap tengkuknya, agak ragu. "Jika kau mengizinkan."

Perkataan itu menjadi pertanda bahwa Seungcheol hanya akan berada di sana sampai malam, ia tidak benar-benar kembali.

"Hm. Aku tidak keberatan."

Seungcheol mengusap pelan pipi Jeonghan yang dirasa semakin tirus. Pria ini benar-benar akan berakhir menjadi tulang berlapis kulit jika tidak segera memperbaiki pola makannya.

"Apa kau makan dengan teratur sejak aku pergi?" Pertanyaan itu bersanding bersama wajah super khawatir Seungcheol yang membuat Jeonghan ingin menangis dan segera memeluknya. Pada akhirnya Jeonghan hanya mengangguk saja.

"Astaga, bagaimana mungkin tubuhmu menjadi sekurus ini jika makanmu teratur, Jeonghan? Jihoon sangat khawatir padamu, ia menangis semalaman berpikir kau akan meninggal."

"Aku tahu." Jeonghan berkata lirih dan berhenti mengunyah.

Suasana berubah tidak nyaman. Seungcheol meraih tangan Jeonghan pelan-pelan lalu menggenggamnya erat. "Maafkan aku."

"Tidak perlu meminta maaf." Balas Jeonghan. "Dan tidak perlu membahas ini lagi."

"Han..."

"Kau tinggal dimana sekarang?" Tanya Jeonghan dengan suara tercekat.

"Di apartemen daerah A."

"Apa kau tinggal dengan... pacarmu?"

"D-dia bukan pacarku." Seungcheol semakin merasa tak nyaman. Beberapa saat kemudian Jeonghan tersenyum tipis, senyum yang sulit diartikan apa artinya. "Tentu dia pacarmu."

"Han."

"Aku tidak marah padamu lagi, Seungcheol, apalagi jika kau berkata jujur sekarang." Ujar Jeonghan. "Apa dia perempuan atau laki-laki?"

"Perempuan." Seungcheol menyahut lirih.

"Maka itu lebih baik." Genggaman tangan mereka mengendur. "Apa kau ingin berpisah denganku?"

Seungcheol menggeleng cepat kemudian menunduk. Ia kesulitan tidur berbulan-bulan hanya untuk menyesali kebodohan yang sudah ia buat. Ia terjebak antara cintanya pada Jeonghan dan Younghee, meski kini ia benar-benar ingin kembali ke rumah tangganya yang manis seperti dulu.

Tak terasa air matanya malah menetes ketika membayangkan ia pulang dan tidak menemukan Jeonghan dan Jihoon disana. Bagaimanapun juga, keluarga kecilnya ini adalah hal pertama yang ia punya sejak masa-masa susah dulu. Saat teman-teman dan keluarga meninggalkannya karena ia seorang gay, ia punya Jeonghan selalu. Saat masa-masa sulitnya dengan Jeonghan, Jihoon akan selalu menghibur mereka.

Jeonghan nencintainya, begitu pula Jihoon. Lalu dia dengan segala ketololannya malah mengkhianati orang-orang berharga ini.

"Aku ingin...denganmu." Lirihnya. "Aku ingin hidup denganmu."

Jeonghan ingin mengatakan bahwa ia juga ingin. Ia ingin sisa hidupnya dihabiskan bersama Seungcheol. Ia ingin mencium bibir lelaki itu, bercinta dengannya lagi, kemudian tertawa setelahnya.

Jeonghan ingin semuanya terulang, tapi apakah mungkin?

Daddy | JeongcheolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang