Misi #1

596 70 10
                                    

Katanya, hidup itu bukan soal diri sendiri, tetapi ada orang lain dengan segala kerumitannya. Kritikan, saran, dan petuah, serta motivasi juga bagian dari hidup. Manusia selalu hadir dengan banyak maksud dan bagi Lana, semua orang yang pernah menjadi bagian dari hidupnya adalah angin.

Hanya lewat.

Lana tidak peduli dengan semua petuah, saran atau kritik dari orang lain, yang jelas hidupnya adalah miliknya sendiri. Terserah orang lain mau berkomentar apa, tetapi ia berhak untuk menentukan pilihannya sendiri.

Ia yakin ketika manusia dilahirkan sudah menerima banyak komentar, sehingga saat tumbuh dewasa, manusia tidak perlu merasa kecewa dengan beragam komentar yang diperoleh, karena pada dasarnya manusia dilahirkan untuk menerima komentar dari manusia lain.

"Dia tuh kayak nggak pernah ngerawat diri deh, kusut semua kalau ke kantor."

"Kayaknya baju dia cuma satu, item semua."

"Modelan begitu mana bisa dapet pacar!"

Beragam komentar sudah pernah ia dengar dan sebetulnya semua komentar itu tak ada yang masuk di telinga, karena memang tidak ada gunanya.

"Pagi, Mbak."

Ia mengangguk seadanya dan terus berjalan menuju ruangan. Kalian tahu apa? Mereka hanya sedang bertingkah formal, sebentar lagi kalimat yang keluar dari mulut manis itu jauh lebih mengerikan dari suara teriakan ibu kost yang menagih uang bulanan.

Satu.

Dua.

Tiga.

Mau dengar komentar pagi ini? Baiklah, akan ia dengarkan.

"Itu baju yang kemarin nggak sih? Kayaknya bener deh dia cuma punya satu baju."

Lana tersenyum tipis, manusia memang selalu begitu. Di depan akan terlihat manis, tetapi ketika di belakang, mulutnya bahkan lebih pedas dari cabai di pasar.

"Hai, Mbak!"

Mau dengar sekali lagi? Oke, bukan masalah.

"Itu rambut nggak pernah dikeramasi deh kayaknya, kusut gitu."

Sekali lagi, Lana tidak peduli. Komentar apa pun tidak akan berpengaruh untuknya. Masuk ke dalam ruangan, ia regangkan tangannya ke atas sambil menghirup udara sebanyak-banyaknya. Tubuh itu pegal-pegal, karena semalam lembur hingga lupa tidur di kamar.

"Sayyy!"

Itu suara milik Yusi, asistennya. Jangan berpikir bahwa Yusi ini perempuan, karena kalian salah total. Dia adalah laki-laki dengan jiwa perempuan, bukankah itu sebuah kelebihan? Di saat orang lain hanya dibekali fisik dan jiwa yang sama, tetapi Yusi mendapatkan keduanya. Oh, tidak masalah kalau kalian tidak setuju dengan pendapat Lana, karena memang ia tidak meminta dukungan.

"Lo tahu nggak sih?─"

"Nggak."

"Hihh, ya iya lah! Gue belum ngomong, lo main sela aja sih, Say."

Lana memutar bola mata dengan malas, Yusi ini memang sedikit menyebalkan, atau sebenarnya terlalu menyebalkan. Namun, anehnya Lana tidak berniat mengganti Yusi dengan orang lain. Pria itu mendekat ke arahnya, lalu memberi kode dengan tangan agar Lana mendekatkan telinga. Yusi berbisik, "Si bos kayaknya mau dijodohin deh. Lo tahu nggak siapa calonnya? Kepo nih gue!"

Kalau soal gosip, Yusi memang tidak ada tandingannya. Lana memilih duduk daripada harus berdiri sambil mendengar ocehan Yusi yang sebenarnya tidak bermanfaat sama sekali.

"Siapa sih, say?" tanya Yusi lebih heboh lagi.

Lana hanya mengedikkan bahu, tak peduli.

"Nggak up to date banget sih lo! Ngakunya temen si bos, tapi soal giniaan aja lo nggak tahu."

Lana mengembuskan napas, menghadapi Yusi memang harus ekstra sabra. "Kalau lo lupa, gue ini temen sekaligus kacungnya dia. Jadi, gue tetep harus nyelesaiin kerjaan kalau gue mau dapet gaji! Gue nggak ikut campur soal masalah pribadinya, oke?"

Yusi mengusap dahi seolah keringat membanjiri tubuhnya yang lemah gemulai itu membuat Lana ingin melempar sepatu, "Lo daripada berdiri nggak jelas kayak gitu mending lanjutin ngedit naskah yang kemarin deh, kalau udah selesai kasih gue! Kerjaan lagi banyak-banyaknya juga masih bisa gosip aja!"

"Jangan marah-marah dong, Say. Lo tuh sesekali harus rileks biar nggak cepet tua!"

Lana mendelik dan benar-benar akan melempari Yusi dengan sepatunya, tetapi laki-laki itu lebih dulu melarikan diri.

Huh! Lana kesal sekali.

****

Athar tahu kalau dirinya memang good looking ala badboy yang biasa digemari remaja masa kini. Meski tak memiliki sifat dingin layaknya es batu yang biasa dikisahkan dalam novel remaja, Athar dengan tingkat kepercayaan diri di atas rata-rata menganggumi wajahnya sendiri.

Sambil mengusap-usap dagu yang sudah dicukur bersih, Athar berbicara sendiri di depan cermin, "Gue makin hari makin ganteng deh perasaan? Bunda nih nyidamnya nggak main-main pasti pas hamil gue." Ia tertawa terbahak-bahak mendengar ocehannya sendiri.

Tidak perlu terkejut, Athar memang segila itu.

Ia mengambil salah satu kaos yang ada di dalam lemari dan memakainya sembari keluar dari kamar. Lalu, bergegas menuju garasi untuk mengambil motor sembari bersenandung pelan. Athar akan menemui wanita yang setiap hari semakin menjadi obsesinya. Tidak ada yang istimewa, tetapi ia merasa diterima. Meski tak ada detak yang mendebarkan saat bersama wanita itu, seperti kata orang-orang yang mengatakan kalau hal tersebut adalah salah satu tanda dari jatuh cinta, Athar tidak peduli, ia hanya ingin memilikinya.

Tiga puluh menit mengendarai motor, Athar sudah tiba di butik milik wanita itu. Membuka pintu kaca yang ada di depan, pegawai yang berada di depan kasir sudah sangat mengenalnya dan Athar bahkan tahu kalau pegawai itu selalu memotret diam-diam saat ada kesempatan. Ah, pesonanya memang tidak bisa dilewatkan.

"Keisha ada di dalam 'kan?"

Sesuai perkiraan, pegawai itu gelagapan mendapat pertanyaan darinya. "Ohh ... ng─nggak Mas, Mbak Keisha barusan keluar."

"Dia bilang nggak mau kemana?"

"Katanya tadi mau makan siang bareng sama Mas Arvin."

Berdecak dengan kencang, Athar sedikit merasa kesal. Jadi, perjodohan itu dilanjutkan dan pada akhirnya Keisha setuju?

Hah! Lucu sekali!

"Dia nyetir sendiri? Atau dijemput Si Kambing?"

"Kambing? Mbak Kei tadi nggak naik kambing kok, tapi naik taksi, Mas."

Athar tertawa dengan kencang, pegawai ini konyol sekaligus lambat berpikir. Suasana hati yang baru saja terjun bebas mendadak kembali di atas awan. Emosinya memang naik turun, sebentar kesal, sebentar lagi gila. "Lo bisa ngelucu juga ya ternyata. Oke, thanks ya infonya. Lain kali lo boleh foto bareng sama gue," ucapnya sambil berjalan keluar dari butik Keisha.

Athar yakin pegawai wanita itu menjerit dalam hati, wajah tampannya ini memang pantas digilai. Ia tertawa kencang seperti orang gila menuju motor yang ia parkir di depan. Athar memutuskan untuk mengunjungi studio dan akan menyelesaikan bebrapa pekerjaan. Urusan wanita memang penting, tetapi kalau soal pekerjaan yang menghasilkan uang, itu tidak bisa dilewatkan.

Sekali lagi, Athar terbahak. Sudah dikatakan sebelumnya, kalau pria ini sedikit gila.

Tbc.

Halo, selamat pagi menjelang siang.

Aku akan publish ulang dari awal dengan versi baru sebelum cetak.

Kita jalan pelan-pelan ya

Revisi,

Tuban, 29 Januari 2021

Let's Start The Mission [TERSEDIA DI PLAYSTORE]Where stories live. Discover now