Dari sekian banyak nama karyawan di kantor, kenapa Luna mesti mendengar nama terkutuk itu, sih?

"Lo bisa ngabarin gue besok Minggu, Vi! Kenapa mesti hari ini banget lo ngabarinnya?" omel Luna tak tahan. Mood-nya langsung anjlok gara-gara mendengar nama si asisten manajer.

"Soriiii banget, Lun. Abisnya gue nervous. Tama tadi chat gue, bilang laporannya diminta sama Pak Liam," rengek Vivian.

Ya, tapi kenapa dimintanya hari Sabtu begini? Kenapa bos-bos di Nusa Pharmacy tidak ada yang mendekati normal, sih? Luna benar-benar tak habis pikir.

"Pokoknya, lo siapin dokumennya ...."

"Udah! Gue udah masukin ke map ijo meja lo. Oke, sip. Thanks, Lun! Enjoy your weekend!"

Belum sempat Luna merespons, sambungan telepon itu sudah diputus oleh Vivian. Mata Luna langsung melotot tak percaya ke ponselnya.

"Enjoy mbahmu!" omel Luna seraya memijit-mijit pangkal hidungnya. Mana bisa enjoy lagi kalau otak dan telinganya baru saja dijejali kerjaan kantor?

Sambil menahan keki, Luna menyimpan ponsel ke dalam kantong jinsnya. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu memberanikan diri mengintip ke ruang tengah rumah Tante Erni yang mewah.

Tante Erni memang termasuk salah satu penghuni kluster rumah mewah kompleks perumahan di Jakarta. Rumah itu punya langit-langit yang tinggi, dindingnya yang berwarna kuning gading cocok dipadu dengan furnitur kayu mahal berpelitur. Belum lagi lampu kristalnya menggantung di tengah langit-langit ruang tengah, ruang tamu, dan ruang makan sekaligus dapur mewah.

"Kamu ngapain di sini?"

Luna tersentak kaget mendengar suara rendah itu. Otomatis kepalanya berputar dan napasnya tertahan seketika. Matanya membulat saat orang yang paling tak ingin dilihatnya malah berdiri tidak jauh darinya.

Tubuh tinggi laki-laki itu dibalut kemeja biru dongker dan celana jins gelap. Bagian lengan kemejanya digulung sampai siku. Luna sampai salah fokus melihat lengan kecokelatan Liam yang nyaris tak berbulu layaknya laki-laki lain.

Demi Tuhan, bulu di tangan Luna rasanya lebih lebat daripada yang di lengan Liam!

"Bapak sendiri ngapain di sini?" balas Luna spontan.

Kening Liam langsung mengernyit. Matanya menyipit tajam ke arah Luna. Entah kenapa pandangan laki-laki itu seolah-olah ngomong, "Gue yang nanya duluan, kenapa lo balik nanya?"

Luna menelan ludahnya.

Otaknya mulai mencerna sekaligus memilah pemandangan yang terjadi di sekelilingnya. Tidak mungkin Liam sekadar masuk ke rumah orang seenaknya. Asisten manajer ini terlalu Times New Roman ukuran 12, alias kaku! Bukan tipe-tipe yang hobi nge-prank.

"Ini rumah Bapak?" tanya Luna hati-hati. Namun seingatnya, dia juga tidak pernah melihat laki-laki itu di sekitar sini.

Liam menggeleng.

Diam-diam Luna menghela napas. Dia sudah khawatir kalau mesti satu kompleks sama asisten manajer kaku satu ini.

"Tapi sebagian keluarga saya tinggal di sini," jawab Liam tiba-tiba.

"Demi apaan? Kenapa mesti keluarga Bapak?!"

"Nah, Luna! Tante cariin dari tadi, lho!" Tiba-tiba suara nyaring Tante Erni membuyarkan ketidakpercayaan Luna. Wanita itu tahu-tahu menyelip di antara Luna dan Liam sambil menyeringai lebar. "Tante mau bayar panada!"

Luna mendadak geragapan. Matanya memandang Tante Erni dan Liam secara bergantian.

Namun, ternyata gesturnya tertangkap Tante Erni. Wanita itu lantas menoleh kepada Liam. "Lho, kamu nggak jadi lembur? Katanya mau lembur hari ini. Nggak jadi?" cecarnya.

Luna merutuk pelan. Sial ....

Tante Erni tidak mungkin menyapa Liam kalau tidak saling kenal. Apalagi Tante Erni sampai tahu jadwal kerja laki-laki itu segala.

Astaga, kenapa dunia mesti sesempit dan sejahat Rangga begini, sih?

"Kerjaan saya selesai lebih cepat," jawab Liam sekenanya. Nada bicara laki-laki itu bahkan tetap kedengaran dingin.

"Kamu udah coba panada di meja? Ini yang bikin, namanya Luna. Saya sering pesan sama dia. Enak banget, lho!" Tiba-tiba Tante Erni merangkul bahu Luna sekalian promosi terselubung. "Nanti cari istri yang pintar masak juga kayak Luna. Daripada kamu makan mi instan melulu di apartemen. Itu nggak sehat, Li!" sarannya serta-merta.

Ha!

Luna refleks mendengkus. Mana ada yang mau menikahi tipe gunung es begini? Di kantor saja, tidak ada kaum Hawa yang mau mendekatinya. Kalaupun ada, mesti merapal doa mohon penguatan sebelum sakit hati gara-gara omongan Liam yang lebih tajam daripada presenter gosip selebriti di TV.

Tapi, masa sih, model Liam begini doyan makan makanan generasi micin? Luna pikir, laki-laki itu paling anti makanan instan.

"Oh ya, Li! Kantornya Luna kejam banget, deh!" curhat Tante Erni tiba-tiba.

Langsung saja Luna menengok ke Tante Erni. "E-eh, nggak sekejam itu, kok, Tan. Emang kebetulan lagi hectic ...."

"Hectic kok terus-terusan?" potong Tante Erni tak percaya. Kepalanya menggeleng singkat. "Liam ini posisinya udah asisten manajer, Lun. Tapi dia nggak pernah, tuh, cerita-cerita ada bawahannya yang lembur melulu!"

Oh My God, rasanya Luna mau menyublim saja. Ucapan Tante Erni seperti baru menelanjanginya di hadapan Liam.

Tidak pernah ada cerita, bukan berarti tidak terjadi apa-apa.

Kalau bukan terpaksa, semua budak korporat pasti ogah disuruh lembur. Lagian, mana mungkin ada budak korporat terang-terangan protes ke atasannya karena disuruh lembur? Apalagi atasan dingin dan tak kenal waktu kerja model Liam. Paling-paling ujungnya cuma bisa menyambat di medsos saja.

"Oh ya?" respons Liam.

Tubuh Luna membeku. Rasanya dapur sekaligus ruang makan di rumah Tante Erni itu seperti dipindah ke kutub selatan. Apalagi menyadari adanya ketertarikan dari respons Liam barusan.

"Iya, Liam! Masa, dia pernah pulang larut banget gara-gara disuruh lembur sama bosnya. Anak gadis, lho! Bahaya pulang kemalaman," cerocos Tante Erni tanpa rem. Kemudian, "Mendingan, Luna pindah ke tempat kamu aja, Li. Dijamin pasti lebih manusiawi!"

Mati gue, batin Luna panik saat itu juga.

Rasanya seperti baru saja tersambar petir siang bolong. Mulut Luna sampai geragapan sendiri. Dia mendadak buntu otak. Dan sedetik berikutnya, mata Luna terbelalak sempurna.

Demi Tuhan, dia melihat seorang Liam Adiguna tersenyum!

T-E-R-S-E-N-Y-U-M!

Namun, itu bukan senyum yang bikin orang klepek-klepek saat melihatnya. Malah, tidak bisa juga dikategorikan senyuman, karena Liam cuma menarik satu sudut bibirnya. Tapi, apa pun itu, sukses membuat Luna terperangah sekaligus ngeri.

Tubuh Luna langsung merinding. Dia sampai buru-buru memalingkan wajah. Entah kenapa senyuman horor di bibir Liam tampak seperti pertanda petaka.

Duh, apa kabar hari Senin-nya nanti?!

PostscriptWhere stories live. Discover now