Part 6

1.3K 135 8
                                    

"Kenapa harus menikah? Kenapa tidak memasukkanku ke penjara, jika menurutmu, aku yang menyebabkan mamamu meninggal?"

Setelah lama terdiam, akhirnya Zulaikha bisa membuka suara meski mulut masih terasa kaku. Pandangan mengarah ke jendela, tatapannya tampak kosong. Ada banyak hal yang memenuhi pikirannya saat ini.

"Kenapa Ibuku yang menjadi ancamanmu? Dia tidak tahu apa-apa tentang masalah ini." Tanpa menunggu jawaban Andreas, Zulaikha bertanya lagi. Suara terdengar berat seperti ada yang mencekik lehernya. Mata pun berkaca-kaca kembali, ketika mengingat wajah sang ibu yang mulai menua.

"Aku ingin," jawab Andreas, singkat. Ia masih berdiri tegas di samping brankar. Menatap dingin perempuan berpakaian pasien dengan selimut menutupi tubuh hanya sebatas perut.

Zulaikha menggeleng. Mengatupkan bibir rapat-rapat sampai membentuk garis panjang. Terdiam sejenak, kemudian ia berucap lagi, "Kenapa? Kecelakaan ini tidak ada hubungannya dengan pernikahan. Sangat tidak masuk akal dan terkesan konyol, jika kamu memintaku tanggung jawab dengan cara seperti ini." Oktaf suaranya agak meninggi. Masih dalam posisi sama tidak menoleh ke arah Andreas.

"Kamu masih tanya kenapa? Mamaku sekarat dan meninggal karenamu, karena menolongmu. Seharusnya kamu tahu diri telah berhutang nyawa dengannya," hardik Andreas, tersirat jelas emosi dalam dirinya.

Ia mendekati Zulaikha, tanpa aba-aba langsung meraup rambut perempuan itu. Cengkeramannya sangat kuat membuat Zulaikha merintih kesakitan. Namun, Andreas tidak peduli. Ia menarik kepala Zulaikha dan membimbing agar menatap dirinya.

"Lepasin!" seru Zulaikha, berusaha melepaskan tangan lelaki itu dari kepalanya. Namun, sangat susah. Justru semakin kuat cengkeraman Andreas, yang membuat kulit kepala terasa perih dan panas. Ia yakin, rambut-rambutnya sudah rontok sekarang.

"Dan aku berhak menuntut tanggung jawab darimu dengan caraku sendiri," ucap Andreas, penuh penekanan. Ia menggertakkan gigi, rahangnya mengeras. Sembari menatap tajam Zulaikha, membuat bola mata hampir mencuat dan keluar dari tempatnya.

Setelahnya, lelaki itu menghempaskan kepala Zulaikha tanpa perasaan, mendorongnya keras. Kemudian, mengayunkan kaki ke luar kamar meninggalkan Zulaikha yang kini menangis sesenggukan.

***

"Kalian bertiga masuk ke kamar, jaga perempuan itu. Dan kalian bertiga, tetap jaga di luar. Aku akan menemui dokter yang menangani perempuan itu dulu," perintah Andreas, kepada enam bodyguardnya. Ia baru saja mencari informasi siapa nama dokter yang menangani Zulaikha, serta di mana letak ruangannya berada---dari seorang suster.

"Baik, Tuan." Mereka berenam, menjawab kompak.

Seperti yang diperintahkan Andreas, tiga di antara para bodyguard itu segera masuk ke dalam. Sedangkan yang tiga mengambil posisi siap siaga berdiri tegas di samping pintu.
Mendapat tatapan penuh tanya dari orang-orang yang berseliweran di sekitarnya, mereka tetap tak acuh. Sudah terbiasa dan terlatih sejak dulu untuk memasang wajah dingin.

Sementara itu, Andreas melangkah menyusuri koridor menuju lift untuk ke lantai dua--letak ruangan Dokter Rian berada. Dalam benak telah merancang berbagai macam ungkapan yang akan diutarakan kepada dokter tersebut, tentu soal Zulaikha.

Sampainya di depan lift, ia menunggu sejenak karena tidak berselang lama lift berdenting tepat di lantai enam, bersamaan dengan pintu stainlis membuka bergeser. Andreas memasuki lift dan menekan tombol angka dua, kemudian berdiri menempel pintu. Di dalam sana ada satu brankar kosong, dua perawat, dan beberapa orang. Ia agak menahan napas karena orang yang berdiri di sebelahnya memiliki bau badan yang tidak mengenakkan, membuat perutnya mual. Sialnya, ia harus menahan sabar karena lift berhenti di setiap lantai.

FORCED BRIDE [ENDING]Where stories live. Discover now