Chapter 6

14 1 0
                                    

Bel pulang sekolah berbunyi nyaring. Guru Bahasa Indonesia di kelas gue langsung pergi ke luar, begitu selesai mengucapkan salam. Seluruh murid buru-buru berebutan menyerbu pintu kelas, berlomba-lomba untuk segera menyingkir dari sana. Termasuk juga gue dan Steffani.

"Steff, mau pulang bareng nggak?"

"Lo pulang bareng gue aja, Steff."

"Steff, main dulu yuk sebelum pulang."

Beberapa anak cowok rebutan nawarin tumpangan pulang sekaligus mengajak cewek itu untuk main, tapi nggak ada satu pun dari mereka yang melirik ke arah gue. Dan seperti biasa, gue pun cuma bersikap seperti saudara kembar Steffani yang nggak terlihat.

Dengan sopan, Steffani menolak semua tawaran itu sambil tersenyum manis. "Hari ini gue pulang bareng Dicky," katanya.

Saat gue dan Steffani baru sampai di depan pintu kelas, Tama datang menghampiri. Cowok itu tersenyum sambil melambaikan tangan.

"Hei, Jo. Hei, Steff."

"Dicky," Steffani malah menyapa orang lain sebelum menjawab sapaan Tama. Matanya terlihat riang dan penuh semangat.

Gue dan Tama menoleh berbarengan ke arah pandangan Steffani. Seorang cowok dengan tubuh tinggi dan wajah ganteng menghampiri adik kembar gue itu. Gue tau siapa cowok itu. Semua orang tau siapa cowok itu.

Dicky, si anak basket yang keren dan populer.

Dia datang untuk menjemput Steffani. Saking senangnya menunggu sore tiba sejak jam istirahat tadi, cewek itu sampai lupa untuk mengenalkan Dicky pada gue dan Tama. Steffani cuma berpamitan singkat, lalu buru-buru mengajak Dicky untuk pergi.

Keduanya berjalan menyusuri koridor sambil bergandengan tangan, mirip seperti adegan romantis yang ada di film-film. Steffani dan Dicky merupakan gambaran ideal dari tokoh utama cerita cinta, yang ada di mana-mana. Di dalam fantasi negeri dongeng, di lembaran buku-buku fiksi romantis, dan juga di potret-potret bergambar sejoli yang terlihat serasi.

Harusnya gue ikut seneng ketika ngeliat adik kembar gue naksir cowok untuk pertama kalinya. Tapi justru hati gue malah mencelos malas, begitu gue menoleh ke arah Tama yang saat ini terlihat menyedihkan. Cowok itu diam, menatap patah hati pada sosok Steffani yang pelan-pelan mulai menjauh. Seolah-olah dia baru saja ditinggalkan sendirian, lupa kalau saat ini gue masih bersamanya.

"Tam." Gue menyikut siku Tama.

Cowok itu langsung tersadar, lalu menoleh ke arah gue. "Eh, Jo." Setengah linglung, Tama kaget melihat gue masih ada di sampingnya.

Gue menarik tangan Tama untuk menuju lapangan sepak bola sekolah. Sore ini, gue memang udah janjian untuk ikut latihan anak-anak cowok main bola bareng. Tapi sayangnya, cowok di samping gue ini justru kelihatan nggak bersemangat sama sekali karena baru aja kehilangan mood-nya. Tama berjalan lunglai mengikuti gue dengan wajah masam, bikin gue jadi kesel sendiri. Saat hampir sampai ke lapangan, wajah lesunya masih belum kunjung hilang juga.

Akhirnya gue berhenti berjalan, membuat Tama ikut-ikutan menghentikan langkahnya. Dia menatap gue bingung.

"Kenapa?" tanyanya.

Gue garuk-garuk kepala. "Lo yang kenapa? Patah hati sampe segitunya," kata gue.

"Apa?" Tama melotot kaget. Tangannya langsung menoyor kepala gue. "Lo ngomong apa sih?"

Gue mesem-mesem, males ngeladenin lagaknya yang pura-pura begitu. Meski Tama nggak pernah ngaku di depan gue, tapi harusnya cowok itu sadar diri, kalau semua gestur yang dia tunjukkin di depan Steffani selama ini, bikin dia kelihatan jelas naksir sama adik kembar gue.

"Steffani sama Dicky," ucap gue pelan, sembari mengalihkan pandangan dari wajahnya.

Gue kira Tama bakal ngelak lagi, tapi ternyata dugaan gue salah. Alih-alih menyangkal seperti sebelumnya, sekarang Tama malah diam. Gue kembali mendongak untuk menatap mukanya.

"Lo tau?" tanyanya, akhirnya ngaku sendiri.

Sebagai orang yang selalu merhatiin Tama hampir setiap waktu, bego aja kalau gue sampai nggak tau. "Gila kali lo, emang gue buta apa? Gue tau kok dari dulu lo naksir sama dia. Nggak usah belagak tolol di depan gue," kata gue, membuat Tama ketawa geli. "Tapi santai aja, si Steff nggak sadar kok. Yang naksir dia kan banyak, bukan lo doang. Lo tuh nggak ada seujung kukunya kalo dibandingin sama fans-nya Steff."

"Bawel lo." Tama pura-pura sakit hati mendengar ocehan gue. Tapi nggak lama cowok itu ketawa lagi, menyetujui semua omongan gue. "Jo," panggilnya kemudian, setelah berhenti tertawa.

"Iya?"

"Kita jalan yuk."

"Hah?" Gue melongo, menatap Tama bingung. "Latihan sepak bolanya gimana?"

Secara teknis, gue bukanlah anggota resmi klub sepak bola. Jadi gue nggak dateng untuk latihan pun sebenernya nggak masalah. Tapi beda cerita dengan Tama, karena dia adalah kapten tim. Yang artinya, bolos tanpa izin sama dengan mengajukan diri untuk mendapatkan ceramah tentang kedisiplinan sepanjang durasi film dari Pak Ronald, pelatih ekskul sepak bola sekolah. Belum lagi, cowok itu juga bakal dihukum untuk melakukan latihan ekstra selama satu minggu berturut-turut.

Yup, begitulah reputasi Pak Ronald yang terkenal tegas, dan juga sedikit sadis.

"Itu biar gue pikirin nanti aja. Yuk." Tama langsung narik tangan gue dengan cepat, berbalik ke arah parkiran motor, bahkan sebelum gue mengiyakan ajakan cowok itu.

Look at MeWhere stories live. Discover now