Chapter 3

14 1 0
                                    

"Hei, Jo."

Itu sapaan pertama yang gue dapet pada pagi ini. Nggak terlalu pagi juga sih, karena nyatanya sekarang udah pukul 09.16. Steffani mungkin sudah mendapatkan sapaan kesekian puluhnya di jam segini. Tapi gue nggak peduli, karena hati gue sedang berbunga-bunga.

Tahu kenapa?

Karena sapaan itu datang dari seseorang yang bisa bikin jantung gue jungkir balik secepat kilat, bak lagi naik wahana roller coaster; yaitu Tama.

Gue tersenyum, lalu duduk di sebuah bangku kantin yang sudah ditempati Tama terlebih dahulu, sembari membawa segelas juice alpukat di tangan. Steffani ikut duduk di samping gue, dengan ice cream strawberry favoritnya.

"Hai, Steff." Tama beralih menyapa Steffani, yang langsung dibalas oleh senyuman manis cewek itu.

Dengan senyuman seperti itu, gue yakin banget Steffani bisa bikin sepuluh cowok langsung bertekuk lutut di hadapan dia.

Tama adalah sahabat gue dan Steffani dari kelas satu SMA, hingga kita duduk di kelas tiga sekarang ini. Tapi sejak tahun lalu, gue dan Tama udah nggak pernah satu kelas lagi. Bisa dibilang, selain teman akrab, Tama juga sebagai satu-satunya cowok yang pernah gue taksir sepanjang hidup gue. Makanya, itu alasannya kenapa gue selalu ngerasa berbunga-bunga setiap kali ada di deket cowok itu.

"Kalian udah makan?" Tama menawarkan nasi uduk yang sedang dilahapnya. Kebiasaan cowok itu sejak dulu, nggak pernah sarapan di rumah sebelum berangkat sekolah.

"Udah kok, Tam. Makan aja," tolak Steffani sambil menyuap sesendok ice cream-nya ke dalam mulut.

Selagi mengunyah, gue sempet memergoki Tama memandang wajah cantik Steffani selama beberapa detik lebih lama, terkagum-kagum sendiri. Tapi jelas, adik kembar gue itu nggak menyadarinya. Terbiasa mendapatkan pandangan memuja dari para cowok, Steffani berpikir bahwa tatapan seperti itu cuma sekedar tatapan biasa. Sama seperti tatapan Tama padanya saat ini.

"Hei, Steff. Ikutan duduk dong." Empat orang cowok temen sekelas gue datang berbarengan sambil membawa makanan di tangan masing-masing.

Mereka langsung duduk mengerubungi Steffani tanpa meminta izin terlebih dahulu. Dan seperti biasa, nggak butuh waktu lama bagi cewek itu untuk bisa mengobrol seru bareng para cowok-cowok.

Yup, supel adalah salah satu sifat lain dari Steffani yang menambah daftar kesempurnaan cewek itu.

Tama kembali mengalihkan tatapannya dari wajah Steffani ke nasi uduk yang sedang disantapnya. Cowok itu aslinya usil, kadang juga cerewet. Tapi kalau sudah berhadapan dengan Steffani, biasanya Tama jadi keliatan kalem dan kikuk mendadak.

Kadang gue suka kasian kalau ngeliat Tama bersikap menyedihkan seperti itu. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, mungkin sebenarnya gue yang lebih butuh dikasihani di sini; karena naksir sahabat cowok, yang justru naksir sama adik kembar gue sendiri.

Look at MeWhere stories live. Discover now