Rere mengoleskan salep di bahu Wahyu pelan, sengaja. “Kamu ambil pelatihan olahraga kan? Karena itu otot kamu terbentuk?”

Wahyu melengos mendengar perkataan genit Rere, apalagi jari jemari perempuan itu menyentuh otot bisep nya. Wahyu membiarkan, dia terlalu malas bergerak, mengangguk mengiyakan apa yang dikatakan Rere tadi.

“Aku pernah lihat kamu di koran olahraga, kata nya kamu udah jadi atlet waktu SMP.” Wahyu hanya tersenyum, dia enggan membalikkan badan saat Rere sudah selesai mengobati nya. Tangan nya bermain di layar ponsel. Mengetikkan pesan pada Henry untuk meminjamkan nya baju yang dia punya.

“Terus kenapa mutusin buat kuliah disini? Kampus sini emang bagus, tapi bukan nya lebih enak kalau kuliah di dekat rumah?” Rere ikut duduk di ranjang, mereka saling memunggungi. Siapapun yang melihat pasti akan mengira mereka memiliki hubungan lebih, apalagi bilik yang mereka tempati tertutup tirai.

“”Disuruh sama bokap.” Rere tersenyum kegirangan, berbanding terbalik dengan Wahyu yang sudah bermuka melas, ingin Henry untuk cepat datang. Wahyu ingin segera berpakaian, dia tidak ingin memakai kaos kotor yang dia kenakan tadi. Apalagi Wahyu merasakan Rere melirik tubuh nya berkali-kali.

“Wahyu?” Oh. Great. Suara laki-laki yang dia nantikan terdengar. Wahyu turun dari ranjang, menyibak tirai lalu menyengir saat melihat Henry di hadapan nya dengan dengan kemeja flanel merah garis hitam di tangan nya.

Wahyu mengambil nya, memakai cepat lalu menepuk bahu Henry. “Thanks.”

“Gimana punggung lo?” Henry bertanya, raut wajah nya tegang. Punggung bagi seorang perenang itu terlalu berharga.

“It’s oke. Cuman nggak bisa renang 2 hari, bisa gue tahan.”

“Ada yang terkilir?” Wahyu menggeleng.

“Bahu lo gimana?”

Wahyu mengangkat kedua bahu nya, “Cuman memar.”

“Ayo ke rumah sakit.”

Wahyu mengangkat alis nya. “Ngapain?”

Rontgen, punggung lo terlalu berharga.”

Wahyu menghela napas, dia berbalik. Mengangkat kemeja nya sampai bahu, membiarkan Henry melihat nya sendiri. “Gue nggak pa-pa.”

Henry memutar kepala nya, dia menendang pantat Wahyu, menurunkan kemeja nya lalu meminta dia berbalik. “Lihat situasi, Nameera sama temen nya disini.”

Wahyu terdiam, lalu menutup wajah nya dengan kedua tangan, mengintip sedikit dari sela jari tangan nya. Tiga perempuan berjilbab berbeda sedang duduk di kursi yang di sediakan, di depan nya. Dan salah satu dari mereka adalah Nameera. Menatap nya dengan pipi memerah.

Wahyu menurunkan tangan nya, berdeham pelan, dia menarik kursi lalu duduk di hadapan mereka, sedikit jauh. “Ada apa?”

Henry menghampiri nya, menoyor kepala nya keras lalu berlari keluar klinik. Wahyu terdiam, dia menutup mata, apa yang baru saja di lakukan Henry di depan Nameera?!

“Maaf,” Nameera berucap lirih. Wahyu membuka mata nya, menatap ke depan. Nameera menunduk, tangan nya saling tertaut memainkan ujung jilbab nya.

“Kenapa?” Wahyu bertanya. Dia jatuh dengan sendiri nya. Tidak ada yang perlu di minta maafkan. Jika kakek nya yang mantan pelatih atlet melihat, beliau akan memarahi nya habis-habisan karena berani melukai punggung nya -bahkan jika itu tidak sengaja-.

“Kamu jatuh karena hindarin aku, maaf…” Nameera semakin menundukkan kepala nya. Wahyu tersenyum menenangkan, walau Nameera tidak akan melihat nya. “Bukan salah kamu, cuman memar. Nggak ada seminggu nanti juga hilang.”

What Makes You Beautiful [SELESAI] ✔️Where stories live. Discover now