Tiga

12 2 0
                                    

Kami sedang berada di jalan menuju desa. Ini masih Jumat siang pukul satu. Ternyata kami bisa berangkat lebih cepat. Tadi sewaktu jam kerja Bang Adi datang, katanya sudah diizikan pulang. Sedangkan aku tidak terlalu sibuk dan kami memutuskan untuk segera pulang. Butuh waktu dua jam untuk sampai desa kami di daerah Bandung. Kami menikmati perjalanan, Bang Adi menyetir di keramaian, nanti saat jalanan sepi aku boleh menyetir sampai rumah.

Kemudian dua jam lebih telah berlalu. Kami sampai di desa, aku melihat punggung kecilnya, sedang asik duduk bercengkrama bersama ibu bapak. Aku rindu dia memanggilku. Akan kutemui hari ini senyum dibibirnya. Matanya pasti bersinar bagai kerlingan air laut di malam indah. "Arvin!!" kupanggil namanya. Dia menoleh mencari sumber suaraku dan saat menemukanku dia beranjak dari duduknya. Berlari kecil, kemudian memelukku sangat erat. "Aku rindu," aku senang mendengarnya.

"Arvin apa kabar?" aku melepaskan peluk. Memandangnya dari dekat dengan lekat. "Arvin baik-baik saja. Aku rindu ibu dan ayah," senyumnya mengembang. Kemudian ia menggandeng tanganku menuju kakek dan neneknya.

Arvin, anakku sudah tumbuh. Ia jadi anak yang periang, pintar dan kuat. Anak laki-laki yang disayangi warga. Bukan karena Arvin adalah cucu dari kepala desa dan Pak RW, tapi karena ia lucu dan sangat pintar bicara. Sebagai ibunya, aku bangga. Aku jadi ingat hari saat kelahirannya tiba.

Waktu itu bulan April aku melahirkannya. Semua keluarga berbondong-bondong datang ke ibukota. Sore hari aku sudah diperbolehkan menggedong anakku. Sambil berkumpul di ruang inap, kami merundingkan namanya. "Bagaimana dengan cucu pertama kami, apa Lia dan Adi sudah menemukan namanya?" Pak Kepala Desa, mertuaku membuka pembicaraan sore ini. Aku dan Bang Adi saling tatap, kemudian tatapannya beralih pada malaikat kecil kami.

"Lia boleh pakai nama Arvin, kalau Lia mau," ucap Bang Adi lembut. Aku lumayan kaget, tapi senangku tak bisa tertutupi. Ganti aku yang menatap empat orang di depanku. Orang tua dan mertuaku tersenyum hangat, mereka memahamiku. "Baiklah, namanya Arvin Pangestu, anak dari Adi Pangestu dan Camelia Iskandar," ucapku semangat. "Tentu," Bang Adi terlihat sangat bahagia.

Setelah kedatangan kami di desa, seperti biasa kami berkumpul layaknyakeluarga besar di rumah Bang Adi. Letaknya agak jauh, di RW sebelah. Disela temu keluarga aku minta izin pulang lebih dulu ke rumah orang tuaku. Anak dan suami biar tetap di sana. Aku pulang menumpang kaki sendiri.

Jalan kaki di sore hari seperti ini membuatku rindu masa mudaku. Menempuh tiga ratus meter, aku berjalan sambil memandangi bukit. Anak-anak tetanggaku dulu sudah semkain lincah, mereka berlarian kesana kemari sambil mengibarkan mainan baling-baling dari gelas plastik. Tak ada yang seru selain ini, bisa kudengar itu dari riang tawa mereka.

Senja dibelakangku terabaikan. Sudah hampi malam, tapi kupu-kupu kuning masih semangat main kejar-kejaran di antara dedaunan pohon. Tinggal jalan menanjak sedikit dan aku sampai. Rumah lama tempatku tumbuh. Aku tidak tahu pasti bagaimana rumah ini berevolusi yang kutahu rumah ini adalah potret memori masa kecilku.

Pintu kamarku tak dikunci. Seperti biasa, tempatku gelap cocok untuk gadis kesepian. Hanya ada satu ranjang dan lemari pakaian, buku-buku sudah diambil ibu untuk adik-adik di sekitar rumah. Kuhidupkan lampu, masih sama temaram. Untungnya kamar ini punya balkon, cahaya bulan biasanya menelusup ke dalam diam-diam. Di atas ranjang kecil, waktu itu keletakkan sebingkai lukisan. Tak kunjung usang, mungkin ibu merawatnya. Saat siang dan malampun hanya bertemu sinar langit. Lukisan milik Arvin yang diberikan padaku lewat surat waktu itu. aku baru tahu kalau dia jago memainkan kuas.

Jika sudah di kampung halaman, seperti saat ini bisaku hanya mengulang memori waktu lalu. Entah itu menangis atau tertawa, mungkin bahkan keduanya. Kini aku teringat kembali saat lamaran Bang Adi datang dan Arvin sahabatku yang pergi diam-diam. Waktu itu bunda Arvin menelepon keluarga kami, meminta maaf atas nama anaknya. Kami yang baru saja selesai melakukan prosesi lamaran dibuat kaget. Aku ingat betul bagaimana reaksiku waktu itu, aku hanya diam sebentar kemudian tertawa.

Arvin ini selera humornya rendah, ini sama sekali tidak lucu, begitu pikirku waktu itu. Tak lama kemudian terdengar pengumuman dari pengeras suara mushollah desa kami. Katanya, Arvin telah meninggal dan semoga tenang di alam sana. Hei, apa aku tidur di hai bahagia dan kemudian bermimpi buruk? Ah sepertinya tidak, ibu dan bapak sudah berganti setelan menjadi serba hitam, kalau aku tidak. Aku ingin memastikan dulu, ini Arvin yang mana yang berpulang, pasti bukan Arvin sahabatku.

Tapi bendera kuning sudah terpasang di depan rumah kecil Arvin. Aku tak bisa menangis, kenapa dunia mengajakku bercanda. Aku sedang tak ingin bercanda. Bunda Arvin menyambut kami, terlihat tegar namun sembab di matanya sangat kentara. Lalu metes lagi saat aku mengucapkan belasungkawa. Benar, Arvin sahabatku tiada. Aku sudah menangis sekarang, hampir seperti orang gila, meronta-ronta tak ingin Arvin diambil. Hingga aku berpikir untuk ikut dengannya saja. Tapi setelah itu kulihat wajahnya sangat tenang, aku pun mulai tenang.

Kutemani Arvin disaat-saat terakhinya berada di atas tanah. Arvin apa rasanya menyeramkan? Aku tidak ingin kamu ketakuan. Kemudian orang tua Arvin memberiku secarik kertas, katanya dari Arvin untukku. Kupandang mereka sebelum akhirnya membuka kertas yang sudah berpindah tangan. Ah, mataku berair lagi. Dadaku rasanya sesak, tenggorokanku serak. Bahuku tak kuat, kepalaku sudah ada di lantai, tepat di sebelah Arvin yang terbaring. Aku tak bisa mengehentikannya, air mata ini semakin menjadi.

Lalu Arvin diberangkatkan, tak peduli dengan aku yang tak suka. Bang Adi menenangkanku, tapi aku tak bisa tenang. Hingga kami pulang, katanya untuk sementara aku istirahat dulu. Aku jadi anak gadis yang mendiami kamar selama seminggu. Tetap makan walau hanya sesuap dan tetap tidur karena ditidurku aku bertemu Arvin. Dalam mimpi Arvin berkata, Camelia jangan sedih Arvin akan baik-baik saja, awalnya memang menakutkan tapi sudah tidak apa-apa.

Aku nelangsa, waktu sembilan tahunku yang lama bersama Arvin harusnya menjadikanku kenal betul dengannya. Tapi, hati dan rasanya saja aku tak pernah tahu. Namun, sembilan tahun bukan waktu yang lama buatku, karena aku merasa kurang dan selalu rindu ingin berjumpa lagi. Rasanya aku selalu merasa diawasi oleh Arvin, tapi aku salah. Arvin hidup dalam hatiku dan semua orang. Lelaki yang tumbuh dewasa di desa ini, senyumnya yang manis dan suaranya yang lembut. Sebenarnya aku ingin membalas surat dari Arvin, namun kenyataan kembali menamparku. Arvin tak akan bisa membaca suratku. Aku suka melihat lukisan Arvin, sangat penuh warna di dalamnya ada aku dan bunga camelia yang anggun. Di pojok bawah tertulis, bunga dan Cameliaku.

Arvin, apa kamu tahu waktu itu sebenarnya aku memahami caramu menatapku? Tatapan kagum bercampur suka. Bukan, bukan aku tak tahu. Aku cuma tidak ingin salah sangka, itu tidak baik. Waktu itu, sehari sebelum lamaran Bang Adi aku sengaja untuk mengatakan waktu sepulang kita dari daerah terlarang itu. Aku ragu, tapi tetap kukatakan ingin tahu bagaimana reaksimu dan aku yang ada di belakangmu sangat bersyukur kamu tak bisa melihat wajahku waktu itu. jika dilihat, mungkin akan jadi aneh, bahagia bercampur ragu dan ada rasa sesak yang sedikit ketika kamu hanya diam dan aku terus bercerita. Waktu itu aku tak tahu, aku dan Bang Adi sudah bersama sejak aku kecil tapi kamu yang notabenenya orang baru dalam hidupku bisa-bisanya menyita semua waktuku.

Seperinya waktu itu Bang Adi menyadari perasaanmu, Arvin. Atau mungkin aku saja yang terlalu naif menganggap kita sebagai sahabat, ah aku lupa. Tak ada yang murni dalam persahabatan dua orang insan, jika aku tak punya rasa maka besar kemungkinan kamu yang menanggung rasa itu. aku sama sekali tak sadar, maafkan aku Arvin. Oh iya Arvin, kamu rindu daerah terlarang itu tidak? Sekarang sudah ada akses mudah, orang-orang desa ini membangun banyak anak tangga selama aku di kota.

"Ibu!!!!" Teriak anakku, lamunanku buyar. Sepertinya Bang Adi dan anakku datang untuk menjemput. Kusegerakan untuk keluar kamar dan menghapus jejak air mata yang tertinggal. Mungkin sampai sini saja bersedihku karena saat ini dan masa lalu akan jauh berbeda. Napasku yang lama juga hilang. Kini napas hari-hariku adalah napas hidup baru bersama keluarga kecilku. Mereka yang kucintai.

Arvin terlihat sedang mencari-cari keberadaanku, "Nak, ibu di sini, sini sini!" entah kenapa aku ingin memeluknya erat. Tubuh kecilnya kelak akan jadi dewasa. Bang Adi menyusul kami yang sedang berpelukan, ikut nimbrung memeluk kami. Sepertinya Bang Adi paham dengan apa yang terjadi. Aku lega, Bang Adi ada.

Arvin, kalau boleh kukatakan. Sebenarnya aku enggan untuk berpisah denganmu. Tapi setelah perpisahan terjadi, aku bahkan tak ingin lagi kembali,

Jika untuk mengulang perpisahan yang sama. 

-end-

Camelia : Napas BaruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang