Dua

10 2 0
                                    

Kerjaku selesai dalam dua malam. Besok hari Jumat, roda empatku sudah sembuh, aku bisa berangkat ke butik sendiri. Sekarang pukul sebelas lewat dua puluh menit, Bang Adi sedang istirahat dan aku di ruang kerja, beda tempat. Kamarku tak sangat luas, tapi kami punya balkon. Sebenarnya bukan rumah, ini apartemen.

Kantuk belum datang, ada baiknya menghirup udara malam yang sedikit tenang, kepalaku penat. Melihat langit malam yang mendung melayarkan kenangan di kepalaku. Pada waktu ini, waktu teryaman untuk sekedar bicara dengan diri sendiri, aku yakin tidak akan jadi gila. Entah aku yang sepi atau mereka yang tidak peduli. Kudengar napas sendiri jadikanku tenang. Tak boleh terburu-buru, nanti napas habis dan tidak bisa lagi menikmati malam lain.

Di malam yang seperti ini, aku kembali mengingat segala sesuatu yang memberatkan hati hingga menyulitkan langkah. Mungkin lebih enak jika ditemani hujan dan secangkir kopi. Saat sunyi malam hadir, tak sulit untuk memahami diri sendiri, aku bisa berkhayal, menangis, tertawa atau mungkin menari. Tapi pada akhirnya aku hanya diam, menyembunyikan diri di balik topengku. Entah mengapa ini menjadi hal yang lumrah, mungkin aku sudah terlanjur lari begitu jauh, mencari tempat sembunyi dari kesedihan yang harusnya aku hadapi. Tapi aku tak sendirian, banyak orang sepertiku, 'kan?

Aku datang ke kota ini tak lama setelah menikah dengan Bang Adi. Kesan pertamaku adalah ramai. Aku yang sebenarnya anak desa diboyong ke kota, dipersiapkan untuk bisa mandiri oleh Bang Adi. Katanya, kota ini sibuk, Camelia harus jadi kuat walau Bang Adi tahu Camelia sudah kuat, tapi Camelia belum mampu. Kemudian, Bang Adi mengajariku berkendara motor dan mobil juga aku diberi kartu yang isinya banyak uang. Bang Adi juga menanyakan keinginanku, masih ingin melanjutkan mimpi atau tida, kubilang iya. Lalu aku diikutkan kursus desain busana yang cukup mahal.

Semuanya berjalan dua tahun terpotong cuti kehamilan. Setelah lulus, lagi-lagi Bang Adi menanyakan tentang kehidupan yang aku ingin dan menyarankan membuka butik, aku setuju. Tak lama kemudian, suamiku membeli satu bangunan untukku. Begitulah seorang Adi Pangestu. 

Camelia : Napas BaruWhere stories live. Discover now