Satu

18 2 0
                                    

Abu-abu polusi, hijaunya daun mengering bergiliran. Aku ingin pulang. Si roda empat tumpanganku merajuk, aku dipaksa turun di tengah jalan. Manusia-manusia disekelilingku menggerutu, mereka berisik sekali. Tak hanya manusianya, tunggangan mereka juga mengeluarkan suara, hampir terdengar *TIN*.

Sekarang matahari di atas kepalaku. Coba telepon suamiku, dia akan segera datang. Tapi kupikir bagaimana bisa segera sampai. Lihat, ratusan manusia mengantre sepanjang dua kilometer di belakangku. Kuputuskan mengemasi barangku dan mengirim pesan pada suami, lalu ku tinggal mobil yang tak mau bicara itu.

Aku Camelia, seorang istri dari Adi Pangestu. Bukan sembarang istri yang suka meludeskan uang tabungan, aku membantu walau sedikit. Aku bekerja sebagai penjahit baju, aku punya toko yang isinya kubuat dengan bantuan orang-orang minta upah. Bisa dibilang keluargaku cukup mapan. Tokoku bisa dibilang butik, lumayan. Orang-orang berdasi suka membawa wanita ke butikku, lama-lama satu dua artis ibukota nyasar ke butikku.

Terhitung sudah dua setengah tahun aku dan Bang Adi tinggal di ibukota. Sejak kepergian Arvin tiga tahun lalu, aku dinikahi Bang Adi dan dikaruniai malaikat kecil yang tampan. Ia aku titipkan pada neneknya di desa. Biar hatinya murni dan terjaga. Kami, aku dan Bang Adi sudah bermusyawarah hingga mencapai mufakat untuk buah hati kami. Tiga bulan sekali, kami pulang. Jika Bang Adi tidak bisa, aku pulang dengan sopir. Malaikatku selalu senang bertemu dengan ibunya.

Ponselku berbunyi, ternyata Bang Adi. Katanya mobilku sudah diamankan ke bengkel paling dekat. "Baiklah", jawabku. "Nanti biar ku jemput saja, Lia." Telepon pun ditutup.

Sekarang aku sudah sampai di butikku. Ternyata ada yang datang. Mereka memesan sepasang baju pengantin. "Ingin model yang seperti apa?" tanyaku pada sejoli yang terlihat sangat cocok dan... ehm! mesra. Aku ingin tertawa sebenarnya, mengingat bagaimana Bang Adi jika sudah berdua denganku, seperti perangko dengan amplop surat.

"Temanya nanti biru," kata si laki-laki.

"Modelnya bisa kusesuaikan atau kalian ingin yang seperti apa?" Kusodorkan buku album, isinya gambar-gambarku. "Kalian bisa pilih-pilih, nanti biar orang-orangku yang mengukur ya, aku ada sedikit urusan," mereka mengangguk tanda mengerti.

Kulangkahkan kaki menuju ruang pribadiku. Aku rindu rumah. Aku ingin segera pulang. Baiknya ku telepon ibu di rumah, untuk mengobati rindu. Sudah pukul setengah dua, sepertinya ibu sedang bersantai. Kutekan kontak ibu, di nada panggil kedua sudah dijawab.

"Assalamualaikum, Buk,"

"Waalaikumsalam, Lia. Lagi apa, nak?"

"Lia lagi kerja, Buk. Tapi masih istirahat, terus telepon Ibuk. Lia kangen,"

"Haduh anak ibu manja banget, kamu kerja yang bener loh,"

"Hehe, tenang aja, Lia santai pun tidak ada yang memecat Lia, Buk,"

"Ibu tahu, Nak. Oh iya, anakmu tidur. Dari tadi lari-lari sama kakeknya. Kamu kapan kesini? anakmu bilang kangen ibu terus," aku tersenyum lega, anakku merindukanku. Aku semakin ingin pulang.

"Akhir pekan ini ya, Buk. Nanti bakal sama Bang Adi. Kebetulan Bang Adi bisa izin,"

"Ibu tunggu ya, Lia. Salam. Hati-hati waktu perjalanan ya,"

"Iya, Buk. Aku tutup dulu ya teleponnya. Assalamualaikum,"

"Waalaikumsalam." Obrolan kami siang ini berakhir.

Tok Tok!

"Masuk," terlihat seseorang masuk sambil membawa buku catatan.

"Nyonya, ini catatan untuk pemesanan yang barusan. Acaranya bulan depan tanggal 10," wanita kecil itu berbicara dengan sopan, aku kagum dengannya. Meski dia lebih tua, dia tetap bisa menempatkan diri.

"Akhir pekan ini, saya akan pulang. Nanti saya buatkan desain dan catatan untuk keperluan yang harus dibeli. Nanti Ibu beli perlengkapannya dulu ya. Kalau saya sudah kembali, kita kerjakan,"

"Baik, Nyonya. Saya permisi dulu," pamitnya sopan. "Terimakasih, Bu," lalu ia menghilang di balik pintu. Rabu sore, setidaknya desain ini bisa kuselesaikan Jum'at. Baiklah. Semangat Camelia, demi pulang ke desa tercinta.

Sudah pukul empat, saat aku baru saja selesai menemani pembeli. Bang Adi sudah datang tiga puluh menit yang lalu. Tampaknya suamiku lelah hari ini, tapi ia tetap tersenyum dan berkata "Lia, nanti kita beli hadiah untuk Arvin ya," aku mengangguk senang. Setidaknya kami harus melepas penat raga yang minta dipulangkan. Tak lama, aku berpamitan pada penghuni butik ini. Kemudian berlalu bersama Bang Adi menuju pusat pertokoan paling dekat. Kami ingin memberi hadiah untuk Arvin.

Selepas membeli hadiah, kami mampir sebentar ke kota tua, mengistirahatkan sejenak jiwa yang lelah. Menikmati semangkuk Tauwa, kembang tahu dengan kuah jahe. Kami berdua duduk di bahu jalanan yang berdebu ditemani tembang-tembang musisi jalanan. Kereta yang lewat, palang kereta api yang turun diikuti suara tanda kereta akan tiba. Semua menjadi satu, terkadang kesederhanaan seperti ini begitu hangat sepertinya kami berdua jatuh cinta pada malam dengan kesibukan alaminya. Aku dan Bang Adi menikmati saat-saat seperti ini, jika saja semua orang bisa merasakan apa yang kami rasa mungkin mereka akan jatuh cinta juga.

Terlalu asik dengan kedamaian, aku ingat harus segera merampungkan kerjaku. "Mau pulang sekarang?" seperti biasa Bang Adi seperti bisa membaca hatiku, selalu seperti itu. "Iya, aku punya tugas ingin segera kuselesaikan. Tidak apa-apa?" Bang Adi tersenyum, "Tentu," kemudian beranjak dan membayar dua porsi Tauwa pada abang penjual. 

Camelia : Napas BaruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang