(Bonus Cerita - 01) Lubang Kehidupan

Mulai dari awal
                                    

"Ayah udah gak ngelatih lagi judo, taekwondo, sama boxing di sana. Mau fokus aja ke Mar. Ayah juga udah nemu kerjaan lain, ngajar olahraga di sekolah desa sebelah," jawab Ayah.

"Kalau gitu, udah nggak usah latihan aja, hehe."

"Mara ... kamu paham kan latihan ini penting?" tanya Ayah seraya menoleh sedikit ke belakang.

"Ya ya, biar Mara bisa ngendaliin kekuatan Mar ...."

Ayah melanjutkan, "Dan jangan ...."

"Ya, dan jangan pake tangan kanan. Kalau pake tangan kanan lagi, nggak boleh nonton TV seminggu," jawab malas Mar.

"Oke sip. Pasarnya di depan, bentar lagi nyampe."

Setelah menitipkan motor ke tukang parkir, mereka mulai membeli satu persatu kebutuhan sehari-hari, seperti beras, sayur, daging ikan, gulungan benang, dan sebagainya. Setelah terkumpul semua, Mar mengingatkan ayah untuk membeli jus jeruk pesanan Tesya. Ketika hendak membayar, tiba-tiba di dekatnya terjadi keributan besar. Cekcok antara tiga orang preman dan seorang yang dicurigai telah mencuri uang WC tak terhindarkan.

"Mar ayo cepet pulang!" Ayah menarik Mar menjauh dari kerumunan.

"Tunggu, Ayahh! Itu kasihan orangnya dipukulin. Ayah nggak mau nolong? Itu kasihan diinjek-injek, Yah!" tolak Mar yang matanya tak dapat dialihkan.

"Udah kamu masih kecil! Nggak usah ikut campur! Ini bukan berantem-beranteman kayak di sekolah!" bentak Ayah.

Namun, Mar meremas genggaman ayah dengan sekuat tenaga hingga Ayah melepaskannya. Ia bersikukuh untuk melerai perkelahian itu. Dengan sigap ia berlari dan berdiri di depan kerumunan.

"MARA!" teriak Ayah menyusul.

"Hey! Kalian lepasin dia! Gede-gede mainnya keroyokan. Nggak malu? Kalau berani sini lawan aku!" gertak Mar kecil di hadapan kerumunan orang dewasa.

"Njing haha, siapa lagi ini anak?" ledek preman A dengan jaket jeans membalut tubuh penuh tatonya.

"Anak ni maling, mungkin," jawab preman B yang tangannya penuh dengan batu akik.

Kaki berlapis sepatu boot tebal yang menginjak-injak kepala terduga maling, terhenti sejenak. Wajah dari Preman C yang memerah, menghampiri Mar dan seketika melayangkan pukulan serius yang tak kenal lawan, sama sekali tidak ada keraguan dalam serangannya, walau yang di hadapi adalah anak kecil. Tentu Mar sudah bersiap untuk menangkisnya menggunakan tangan kiri. Namun, dengan cepat Ayah menangkap tangan preman itu dan memasang kuda-kuda rendah hingga berhasil memutar badan, lalu mengangkat tubuh preman dan terbantinglah ia, tergeletak di tanah pasar yang becek.

Tak lama, polisi datang ke TKP. Ayah segera kabur membopong Mar meninggalkan kerumunan dan seorang preman yang terus memegangi punggungnya dengan wajah penuh rintih. Tentu polisi akan cepat datang, karena polsek dan pasar tidak terlalu jauh.

"Mara," seru pelan Ayah ketika mereka sudah di atas motor diperjalanan menuju pulang.

"I-iya," jawab pelan Mar.

"Jangan kayak gitu lagi! Ya?"

"Heu-eum."

Perasaan lega memenuhi rasa. Penampilan Ayah tadi terlihat begitu memukau di mata orang, menyelamatkan anak kecil dari pukulan. Namun, sebenarnya bukan itu tujuan Ayah. Ia justru lebih mengkhawatirkan jika Mar sendiri yang memukul preman. Akan sangat merepotkan jika publik tahu akan kekuatan Mar yang untungnya tidak jadi diperlihatkan di hadapan umum.

Plastik besar yang penuh akan belanjaan disimpan di ujung depan jok motor, tangan Mar kini hanya menenteng plastik berisi jus jeruk, Perjalanan pulang menjadi canggung, tak ada perbincangan mengiringi. Hanya ada sedikit terpaan angin membelai wajah hingga jarak seratus meter lagi tiba di depan rumah.

"Yah, itu di jalan kucing kita kan?" tanya Mar melihat kucing hitam sedang menyebrang jalan dengan santai.

"Mana?" tanya Ayah mensipitkan mata. "Lah, iya."

Lembaran daun pohon terhempaskan, kala tiba-tiba dari arah depan berjarak 150 m, melaju dengan sangat cepat kendaraan truk pasir melewati banyak lubang di sepanjang jalurnya, hingga sebagian muatan berjatuhan.

Siapa yang menduga, ternyata ketika Ibu sedang sibuk memasak di dapur, Tesya mengejar kucingnya yang pergi ke jalan. Ibu telat menyadari jika anaknya telah lepas dari pengawasan. Truk yang melaju kencang tersebut melewati lubang besar hingga oleng dan karena bebannya tidak bisa ditahan, kendaraan besar bermuatan pasir itu pun terguling dan menimpa kucing serta anak kecil yang mengejarnya, kemudian terseret kencang hingga 10 m. Kejadian yang membekukan waktu dari keluarga Mar pun, terjadi di depan mata.

Mar hanya berdiri, terdiam mematung dengan jus jeruk yang masih ia genggam dengan sangat erat, ia hanya menampilkan raut wajah tercengang, dengan mata yang terbelalak lebar, dan mulut gemetar. Sedangkan Ayah langsung berlari dan berusaha mendorong truk terguling itu, walau tahu usahanya sia-sia. Tubuh anak perempuannya sudah hancur dan sudah tidak bisa diselamatkan. Tangis sedih di wajahnya tergambar jelas menyayat hati. Sedangkan Ibu seketika pingsan, dan warga sekitar menggotongnya ke dalam rumah.

"Kenapa? Tesya ... kok bisa, padahal Aa udah bawain jus jeruk kesukaan kamu," ungkap Mar pelan.

Seolah kakinya membeku di tengah gaduhnya suasana sekitar, warga mulai mengerumuni lokasi kejadian, bahkan ada yang mengeroyok supir truk, seolah ia hakim yang berhak menghukum. Pandangan pun membeku, ditambah pikirannya kosong.

Sekilas, terasa suara dalam diri mulai menyelimuti hati dengan pertanyaan. "Malang sekali. Kau pasti berpikir, mengapa harus adikmu? Kenapa bukan orang lain?"

"Ya," jawab Mar yang matanya belum berkedip.

"Bukankah, sudah saatnya kau menyalahkan manusia?"

"Nggak. Menyalahkan mereka nggak bakal bisa balikin semua yang udah terjadi."

"Naif. Apa kau tidak merasa kesal? Tidak merasa dendam? Apa kau masih saja merasa kasihan dan sayang terhadap manusia?"

"Ya."

"Akan tetapi, dunia adalah tempat yang kejam untuk bangsamu? Kau hanya akan terus bersedih ... dan terus bersedih menyaksikan penderitaan manusia. Tidak ada yang bisa mengakhirinya, kecuali ...."

"Ya, aku tahu."

"Aku beri tahu, semua kesedihan, rasa kehilangan, penderitaan, kesengsaraan bisa dirasakan oleh siapa saja. Baik itu kaya atau miskin, jelek atau rupawan, orang besar atau kecil, rakyat atau pemerintah."

"Lalu?"

"Sebenarnya ... kau ingin mengakhiri penderitaan mereka, bukan?"

"Ya."

"Maka, hanya kematian satu-satunya cara yang paling efektif untuk mengakhiri semuanya."

Setelah terdiam cukup lama, serta matanya sudah kembali berkedip, perlahan langkah demi langkah Mar berjalan menghampiri truk, dengan air mata yang berlinang di wajah, dengan senyum lebar menyeringai, ia berkata, "Kalian semua, manusia ... akan aku percepat kiamat buat kalian."

ORKANOIS (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang