(18) Hujan Sang Penipu

321 41 20
                                    

Yuzarsif dan Fiala hanya memandangi wajah yang tertidur lelap di rumah sakit tempat ibu Mar dirawat. Ketika mereka melihat ke arah jendela, langit menampakkan mendungnya, menandakan agar mereka segera pulang sebelum hujan mengguyur. Namun, di saat mereka hendak pulang, ada sedikit pergerakan tangan dari ibu Mar serta terdengar suara kecil dari mulutnya memanggil nama Mara. Mereka hanya saling tatap dengan wajah prihatin kala mendengar itu.

"Ibu, Mar pasti datang," ucap Fia sembari menggengam tangan ibu Mara.

Sepuluh langkah setelah mengangkat kaki dari ruangan tadi, Yuzar menerima telepon dari teman yang mengingatkannya untuk latihan karate. Ia bermaksud pergi ke tempat yang agak sunyi, karena di lorong suaranya teredam oleh kebisingan para pengunjung rumah sakit. Ia pun menyuruh Fia menunggu di tempat parkir.

Di keramaian ruang tunggu, sesaat Fia melihat laki-laki memakai jaket merah berpulang dari arah ruangan ibunda Mar. Fia mengejar laki-laki itu yang langkahnya begitu cepat. Walau sudah ia panggil-panggil, laki-laki itu sama sekali tidak menoleh.

"Tunggu! Emm ... kamu yang pake jaket merah!"

Laki-laki itu sama sekali tidak menghiraukannya dan berjalan hingga tempat parkir yang halamannya terbuka luas. Orang-orang yang berada di sana mulai berlarian dan membuka payungnya karena hujan sudah mulai mengguyur. Fia akhirnya bisa mengejar laki-laki itu, dan kini mereka berdua berdiri di tengah lahan parkir.

"Kamu Mar, kan?!?" tanya Fia dengan nada suara tinggi.

"Fia, berteduh! Hujan udah mulai deras," jawabnya.

"Mar, ibumu! Dia pengin ketemu kamu!" teriak Fia ketika mengucapkannya, karena hujan semakin deras.

"Ya, aku udah ketemu tadi. Walau cuma lewat jendela," balasnya.

"Maksudku, temui ibumu."

"Fia, kamu tahu'kan, kalau aku adalah buronan?"

"Engga tahu, tuh."

"Hah? Apa kamu nggak punya hp atau tv di rumah?"

"Lebih tepatnya, aku nggak percaya."

Mar membalik badannya dan mendekati Fia, lalu menggenggam bahunya di tengah guyuran hujan deras. "Cukup so' polosnya! Kamu tahu, sebenarnya aku ke sini buat mastiin kalau aku ini benar berniat membunuh ibuku atau nggak!"

"Buku tulisku udah kamu salin?" tanya Fia menanggapinya di luar alur pembicaraan.

"Hah?"

"Jawab!"

"U-udah. Sepulang kalian dari rumahku, aku langsung menyalinnya."

"Mana bukuku dan ucapan terima kasihnya?"

Mar kebingungan atas reaksi Fia.

Hujan yang memandikan mereka berdua di tengah parkiran dengan posisi Mar menggenggam pundak Fia, dilihat oleh Yuzar setelah ke sana- kemari mencari Fia.

"Huft, baru aja seneng. Rencana bisa balik bareng sambil hujan-hujanan dan neduh di kafe sambil nikmati kopi, diiringi dengan rintik hujan, bahkan bela-belain batalin latihan karate ... hilang sudah," ujarnya sambil tersenyum. Ia pun menghampiri mereka.

Fia melanjutkan, "buku catatanku selama 3 hari banyak tahu yang harus disalin! Nggak mungkin kamu nyelesainnya dengan cepat'kan? Pasti butuh waktu semalaman bahkan lebih. Jadi, malam itu bisa dipastikan bukan kamu. Berita-berita yang tersebar cuma kebohongan dan pengkambinghitaman atas nama kamu'kan? Mar. Iyain!"

Mar melepaskan tangannya dari Fia. "Bukan gitu cara mainnya, Fia. Kamu nggak bisa terus-terusan berbaik sangka padaku."

"Sekali pun benar, kami butuh sosok superhero kayak kamu, Mar. Siapa lagi emangnya yang berani menentang hukum yang nggak adil ini? Penjahat-penjahat kayak gitu emang udah selayaknya mati. Jangan kamu sesali!" ujar Yuzar tiba-tiba mengutarakan itu.

"Yuzar ...."

Ia menyesali turunnya hujan deras ini. "Why this situation so fucking dramatic?"

"Kalian tahu? Ada bayangan hitam di dalam diriku yang bisa merasuki pikiran dan mengendalikannya. Yang aku tahu, bayangan ini punya niat untuk membunuh ibuku. Ironinya enggak banget, kenapa aku harus ngebunuh ibuku sendiri? Nah, kalian semua pasti sadar, kalau jalan terbaik adalah kematianku," ujar Mar.

"Hentikan itu, bodoh! Kalahkan bayangan itu dan hiduplah!" bentak Yuzarsif.

"Nggak kebayang sedihnya kelak wajah ibumu, setelah dengar anaknya mati bunuh diri," tanggap Fia.

"Lebih baik dari pada aku yang menangisi kematian ibuku," sanggah Mar.

"Bukan cuma ibumu, akan ada yang sangat sedih karena kehilanganmu," ucap Fia.

"Siapa?"

"Aku!"

Terlihat raut wajah Mar sangat terkejut. Sedangkan Yuzar sudah tidak aneh dengan jawabannya.

Wajah Fia semakin serius dan melanjutkan, "sepertinya aku harus jadi ibumu dulu yah, biar kamu bisa sadar keberadaanku. Apa kamu nggak sadar? Alasan selama ini aku pulang telat? Melihat kamu yang selalu pulang terakhir, akhirnya aku juga punya kebiasaan itu. Karena apa? Karena ingin agar kamu deketin aku atau gimana kek. Ini mah nanya dan nyapa aja enggak. Harus yah, cewek mulai duluan? Kamu itu udah puber belum, sih?"

"Fia, a-aku ...," tanggap Mar kebingungan.

"Aku juga bakalan sangat sedih, Mar. Walau kamu nggak menganggap aku sebagai temanmu, tapi kamulah sahabat sejati yang aku punya," ujar Yuzar menambahkan.

"Ngomong apa kamu, Zar? Kamu adalah teman terbaik dan orang yang paling aku percaya setelah ibuku," balas Mar.

"Kalau gitu, aku senang banget dengarnya. Kamu tahu, Mar? Aku lagi mengutuk lidahku karena mengucapkan hal paling memalukan ini, sahabat mestinya nggak saling mengungkapkan, mereka saling membuktikan hubungan mereka kuat lewat tindakan. Tapi, mau gimana lagi, aku ngucapin ini karena untuk ... menyelamatkanmu, bodoh! Hiduplah! Jangan menyerah pada hidupmu! Masih banyak orang yang sedih kalau kamu menghilang. Bayangan, hah? Karena bayangan? Bakar, tuh bayangan pake cahayamu!" bentak Yuzar keras. Hujan yang suaranya begitu deras, dikalahkan oleh suara Yuzar kala itu.

Mar merubuhkan badannya dan berlutut. Sahabatnya mencoba membangunkannya. "Bangun! Udah saatnya kamu kembali."

Namun, tiba-tiba Mar mengeluarkan sayapnya yang sebelah kanan berwarna hitam dan yang sebelah kiri berwarna putih. Kemudian terdengar suara dari dalam dirinya mengatakan, "Bunuh!"

Keheningan hadir di antara mereka, ketika genggaman yang ia raih dari Yuzar, malah berakhir dengan bantingan 180 derajat. Tubuhnya terbanting begitu keras menghantam tanah hingga hampir membuat badannya remuk. Ia mengerang kesakitan dikala tangannya masih menggenggam tangan Mar.

Suara hujan kembali terdengar dan Fia segera memisahkan mereka berdua. Mata Mar begitu hampa ketika Fia menatapnya.

"Yu-zar, Yuzarsif ," ucap Mar kebingungan dan mundur dengan rasa penyesalan.

Serangan itu seolah menghapus semua kata-kata semangat dan rasa percaya.

"Kau pembohong, Zar! Kamu lihat sendiri' kan?!? Aku nggak bisa ngendaliin tubuhku. Lebih baik aku mati, dari pada orang-orang di sekitarku menderita!" bentak Mar.

"M-mar, ini bu-kan salah-mu," ujar Yuzar berusaha keras untuk berbicara.

"Mar, jangan pergi!" pinta Fia.

"ARRGGHHHH! CUKUP!"

Ia berbalik dan membentangkan sayapnya menerpa hujan yang semakin lama semakin deras, pergi jauh dan terus menjauh. Entah air hujan atau air mata yang ada di wajahnya saat ini.

"Fia, lucu yah. Lukaku ini luar-dalam," ujar Yuzarsif.

"Bagian dalam apa yang hancur? Tulang? Organ dalam?" tanya Fia panik.

"Bukan. Hatiku," ucapnya dengan senyuman di mulut seraya mengeluarkan darah.

Fia meminta pertolongan dan membawanya kembali masuk ke rumah sakit, sebagai orang terluka yang perlu perawatan.

"Maafkan aku, Yuzar."

ORKANOIS (END)Onde histórias criam vida. Descubra agora