PART 2

3.7K 525 32
                                    

Apartemen mewah itu terasa sunyi, sunyi dalam arti sebenarnya tanpa suara detik jam analog yang biasa mengganggu, hanya ada jam digital yang tersimpan rapi pada sebuah nacas diruang utama dengan LCD 23 inchi menggantung disisi dinding.

Terlihat beberapa bingkai yang menggantung disalah satu sisi dinding lainnya, foto seorang diri yang berpose begitu cantik.

Apartemen itu gelap dengan mentari yang tak mampu melewati tirai tebal berwarna maroon walaupun mentari telah sampai pada sepertiga laskar dengan jingganya yang masih berkuasa.

Suhu terasa begitu dingin disana, berlayar menyusuri setiap keramik dan dinding yang kini berakhir disebuah kamar yang menampakkan sosok pemuda yang tengah duduk diatas kasur berukuran kingsize.

Rambut hitam basahnya ia biarkan begitu saja, menetes mengenai selimut berwarna putih yang hanya menutupi hingga pinggangnya. Manik pemuda itu terlihat kosong, mencoba menjelajah pada foto besar yang memperlihatkan kebahagiaan keluarga dihadapannya.

Namun, mata itu menatap penuh luka dan keputusasaan. Bahkan tubuhnya tak mampu bergerak sebelum fajar memperlihatkan kekuasaannya, bahkan mata itu belum sempat terpejam ketika rembulan memperlihatkan sinarnya.

Benda pipih berwarna putih disampingnya terus bergetar dengan ribuan notifikasi yang berselancar memasuki ruang pada ponselnya naver, pann, instagram, twitter dan pancafe semuanya begitu ramai.

Melebihi pasar yang sempat didatanginya beberapa waktu lalu, lebih ramai dibandingkan kecelakaan beruntun waktu itu, bahkan hinaan itupun muncul memenuhi social medianya tanpa belah kasih dibanding pembunuh berantai yang baru saja terungkap.

Pemuda itu akhirnya melirik kearah ponsel yang terus menyala, membuat jemarinya terulur meraih benda pipih miliknya itu. Matanya begitu sembab dan sedikit bengkak dan kini pemuda itu meneteskan air matanya kembali.

Ia membuka beberapa situs yang kini sibuk mencerca dirinya tanpa dasar.  Ia selalu membacanya, setiap hinaan yang muncul sejak kemarin, sejak ia menginjakkan kaki diatas panggung yang begitu besar diacara akhir tahun itu.

'Cih kau tahu? Jeon Jungkook adalah orang yang tidak berotak—'

'k k k jika dia memilikinya, mungkin otaknya tidak lagi memiliki lipatan—'

'Biarkan dia bunuh diri—dia tak pantas untuk hidup'

'Ah sial—Kenapa suara emas itu menjadi miliknya?'

'Kami mencintaimu Jungkook! Jangan dengarkan orang tolol seperti mereka'

Ponsel itu terjatuh mengenai paha kecil dengan mata yang kini menatap kosong pada bingkai besar yang berisi foto kedua orang tuanya. Ia kembali menangis begitu pilu, mengadu mengenai ketidakbahagiaannya didunia.

Isakan tangis itu terdengar dengan nafas yang tersenggal, ia menekuk lutut dan menyembunyikan pandangannya disana, berharap jika ia dapat bersembunyi dari dunia yang membenci, namun juga mencintainya, berharap kematian, namun tetap memberikan kehidupan untuknya.

"Tolong aku—"

Pemuda bermarga Jeon itu menyibakkan selimutnnya, merangkak pada tepi kasur dengan lengan yang gemetar. Manik kosong itu terus meneteskan air mata hingga maniknya kini memantulkan jarum suntik serta cairan disampingnya.

Cairan yang didapatkan secara ilegal, tanpa diketahui agensinya, bahkan orang terdekatnya. Jungkook lelah—Sangat lelah.

Kaki kecil itu pun berdiri dihadapan nacas, meraih jarum suntik beserta cairannya dengan tangisan yang bahkan tak berhenti. Tubuhnya terjatuh pada lantai beralaskan karpet, dengan tangis yang ia coba hentikan.

WINTER FLOWERWhere stories live. Discover now