Bab 2 : PENDEKATAN

324 27 0
                                    

Berlari ke tempat di mana orang tua Edwin dan orang tua Piona bertemu. Mereka bercengkrama dengan serius di ruang keluarga. Gadis cantik ini tertatih-tatih dengan kaki telanjangnya menuju ruangan mereka. Ketika ia tiba, mereka sejenak hening dan menyembunyikan segala barang-barang seperti figura dan brosur entah apa yang mereka lakukan.

Pikirannya serasa membaca ada yang tidak beres dengan keadaan ini. Pikirannya juga sedang tidak terkontrol dengan pertunangan yang mendadak.

"Tante, om, mah, pah bisakah memberikan aku sedikit bocoran apa yang mau direncanakan? Rasanya paru-paruku sesak dan jantungku hampir copot karena pertunangan yang tidak masuk akal ini." Piona menghela napas panjang dengan emosi yang tertahan.

"Gini Nak, Tante sama Om dan orang tua kamu punya rencana--"

Tiba-tiba dari belakang muncul Edwin yang baru saja berhenti berlari.

"Tunggu!Aku juga harus tahu, ada rencana apa lagi ini?" Seluruh orang menoleh ke arah putra ganteng yang terengah karena berlari.

Piona berfikir, apa pria ini benar-benar tidak terlibat?

"Gini Nak Edwin, Tante, Om dan juga orang tua kamu punya rencana menikahkan kalian berdua karena--" Tiba-tiba kata-kata Mama Piona di sahut.

"Apa? Menikah?" Kedua orang berlainan jenis ini langsung berteriak bersamaan mendengar kata menikah. Mereka mulai tak habis pikir dengan rencana yang serba mendadak ini. Meskipun dalam hati pria tampan itu tak keberatan tapi pernikahan ini sepertinya terlalu terburu-buru.

"Begini pada intinya, kami ingin menikahkan kalian berdua. Selain untuk bisnis keluarga, kita juga ingin membantu Piona untuk menyelamatkan aset keluarganya," ungkap Marta menjelaskan lebih detail tentang maksud mereka.

"Mah, Pah. Apakah pendapatku sama sekali nggak penting?Kenapa kalian nggak bertanya apapun padaku?Ini masa depanku, bukan sebuah permainan anak kecil. Apa kalian tega menikahkan aku cuma demi uang?" Emosi Piona mulai pecah ketika mendengar penjelasan yang sama sekali tidak masuk di akal sehatnya

"Maafkan kami, tapi ini sangat mendesak. Jika kamu nggak nikah, kita benar-benar hancur sayang. Mereka sudah mengerti apa masalah yang kita hadapi. Apa kamu nggak bisa pengertian sedikit?"

"Tapi ma..." Tiba-tiba Edwin memegang lengannya untuk membuatnya berhenti membantah orang tuanya.

Pria itu bersujud di depan orang tuanya, membuat mata Piona lagi-lagi merasa heran, kenapa pria ini bisa menjadi orang yang berbeda dari pria yang sebelumnya ia kenal.

"Ma, Pah. Kami sudah dewasa. Kami berhak untuk memilih siapa yang akan menjadi pasangan kami. Jika memang mama ingin membantu keluarga Piona, bukankah tanpa menikah, kita juga akan tetap bisa membantu mereka? jik--" Perkataan pria tampan itu terputus dengan mendadak.

"Kalau kalian nggak mau menikah, mama terpaksa melakukan hal ini." Marta memberikan isyarat kepada sahabatnya. Mereka dengan sigap mencengkeram lengan anak- anaknya lalu dimasukkan ke dalam satu kamar baru kemudian mereka kunci dari luar.

"Ma...! Buka pintunya...!Kenapa harus dikunci?" Piona mengetuk paksa pintu yang sudah tertutup dengan begitu keras.

"Bagaimanapun caranya kalian tetap harus menikah!Kami sepakat membuat kalian jatuh cinta. Dalam waktu tiga hari, kami akan mempersiapkan pernikahan kalian. Aku harap besok pagi kalian sudah menyerah dan berkata untuk menyetujui pernikahan ini."

"Tante, Piona nggak mau!Buka pintunya!" Gadis itu merengek sambil terus mengetuk pintu dengan keras.

Edwin yang sedari tadi diam saja, ia memegang tangan Piona, mencoba menghentikan gadis cantik dihadapannya untuk terus mengetuk pintu yang jelas-jelas tak akan terbuka.

"Sepertinya orang tua kita udah kehilangan akal mereka. Percuma kamu ketuk, sampai tahun berubah mereka nggak akan pernah membukanya." Edwin memandang Piona yang sudah berhenti memukul pintu dan masih terlihat kesal.

"Kenapa kamu diem aja?Bukannya bantuin, malah pasrah!" Gadis berambut panjang mulai memaki pria yang sudah menjadi rivalnya sejak lama. Ia beralih duduk di bersandar di dinding, air matanya mulai mengalir karena kesal.

Edwin menoleh ke arah gadis cantik yang sekarang cemberut sambil mengusap air matanya berulang kali. Pria tampan bermata coklat ini mengusap lembut pipinya yang basah sambil tersenyum.

Pergerakan spontan yang dilakukan Edwin membuat wanita itu mengangkat kepalanya, sejenak mata mereka bertemu. Pria bermata coklat mulai sadar bahwa apa yang dilakukannya pasti aneh di mata Piona, dia yang selalu bersikap arogan dan dingin tiba-tiba melakukan hal seperti ini. Piona terkesima sejenak, memang ada yang aneh dengan pria dihadapannya, Edwin dengan cepat menarik tangannya untuk menjauh dari wajah gadis cantik ini.

Suasana kembali canggung, Piona berhenti menangis, mereka duduk bersebelahan menatap langit-langit kamar.

"Aku minta maaf, kalau selama ini aku membuatmu takut dan sangat tertekan." Edwin membuka pembicaraan yang semakin membuat Piona heran.

"Wah, seorang Edwin bisa minta maaf. Apa aku nggak salah denger?" Piona merasa aneh dengan situasi ini.

Edwin menoleh memandang Piona di sampingnya, ia merasa mungkin Tuhan memang memberinya kesempatan untuk memperbaiki hal buruk di masa lalu dan mengungkapkan semuanya sekarang.

"Apa aku nggak boleh berubah?" Pertanyaan ini berhasil membuat Piona menoleh ke arah rivalnya.

Mata mereka kembali bertemu, ada getaran aneh yang menyengat. Piona masih tidak habis pikir, jika pria yang sangat ia benci memang adalah seorang pria maskulin yang tampan. Saat kedekatan itu terjadi, bohong kalau jantungnya tak berdebar.

Tiba-tiba sebuah kecoak menaiki tangan kanannya membuat Piona berteriak dan melompat, ia mengalungkan kedua tangannya di leher Edwin.

"Argh...!Singkirkan kecoaknya! Aku benci kecoak." Badannya bergelayut di tubuh kekar pria tampan yang sekarang tersenyum karena dipeluk oleh gadis yang diam-diam ia sukai.

Dengan cukup tenang, Edwin menyingkirkan pengganggu kecil yang sudah merayap ke lengan Piona.

"Aku sudah menyingkirkannya. Apa kamu akan terus memelukku?" Pria tampan ini tersenyum kesenangan. Dengan pelan Piona melonggarkan tangan di leher Edwin, ia sadar bahwa kesalahan besar sedang ia lakukan. Matanya kembali bertemu, setelah melonggarkan kedua tangannya. Ia mengumpulkan kesadaran penuh untuk segera melepaskan pelukannya dan berpindah ke tempat lain tapi sepertinya pria berwajah tampan ini tak menginginkan hal itu.

Edwin menahan pinggang Piona agar tidak berpindah, alhasil membuat kedua tangan gadis itu bertumpu dikedua bahunya.

Edwin menautkan benda merah muda ke bawah hidungnya, ...











KAKAK KELAS JAHAT ITU SUAMIKU - Valen AshKde žijí příběhy. Začni objevovat