10. Selingkuhan bisa apa?

13.2K 321 8
                                    


Gue menatap kosong layar laptop yang belum gue nyalain mulai tadi. Kembali ke ruangan ini bikin gue bertanya-tanya, apa sebenarnya tujuan awal gue deketin Alvin? Apakah karena gue bosan karena di ruangan ini rekan-rekan gue adalah orang-orang yang umurnya lebih tua dan Alvin yang masih seumuran? Apakah gue cuma terobsesi sama wajah mempesona dan bibirnya yang teramat seksi itu? Atau gue beneran cinta sama dia?

Dengan malas gue nyalain laptop, membuka beberapa software yang bakalan gue pakai seharian ini. Ruangan masih sepi. Sekarang masih setengah 8 pagi dan gue literally di dalem ruangan sendirian.

Gue menyandarkan kepala di kursi lalu pikiran kembali terbang melayang. Gue dari awal udah tau kalo emang Alvin punya pacar. Dan gue masih tetap maju, deketin doi, menawarkan "5 dating time" yang ternyata terealisasi cuma sekali karena doi langsung ngomong kalau suka sama gue waktu di kapal. Gue sama sekali nggak ngerti, yang jelas kalo gue inget lagi kejadian kemarin, hati gue masih sakit banget.

"April, lo sakit? Lemes amat sih" seru Radit setelah doi meletakkan tasnya di kursi samping gue.

"Iya.. hati gue yang lagi berdarah-darah" jawab gue males.

"Seriously... gue pikir lo bukan tipe cewek menye-menye yang galau karena cinta"

"Kali ini serius, dan gue adalah cewek yang menye-menye karena cinta"

"Anjir sih kok kayaknya parah gini...."

Gue menutup wajah dengan kedua tangan "Parah Dim, mau mati aja rasanya"

Radit memusatkan fokusnya ke gue. "Lo bisa cerita deh sama gue. Gue tau di usia kayak gini pasti sulit banget cerita ke orang lain. Tapi se enggaknya lo ketemu gue hampir tiap hari. Dan kalo gue ada indikasi buat bocorin cerita lo ke orang lain, lo bisa langsung bunuh gue di tempat"

... dan gue malah ngakak sejadinya.

"BABI, malah diketawain. Lagi serius juga"

Kali ini giliran gue yang berusaha memusatkan seluruh energi buat cerita ke Radit. Lagian nggak kuat juga sih kalau gue pendam sendirian. Kali aja dengan gue cerita, Radit bisa kasih saran atau minimal doi bisa ngata-ngatain gue agar supaya ini otak bisa kembali berpikir rasional.

"Gue..emm.. gue jadi selingkuhannya Alvin"

"Oh shit... ini lebih serius dari yang bisa gue duga" Radit membenarkan posisi duduknya. Kali ini doi beneran fokus ke kata-kata gue selanjutnya

"Gue kayaknya udah beneran gila deh Dim.. "

"Tapi kok bisa sih, cuy... lo jadi selingkuhan itu teknisnya gimana?"

"Ya gue jalan sama doi, doi bilang berkali-kali kalo sayang gue, cinta gue. Tapi doi punya pacar."

"Kacau.. Sumpah kacau"

"Kan.. gue bilang juga apa" gue kembali bersandar ke kursi. Melipat kedua tangan di depan dada

"Lo nggak bisa sih kayak gini terus, Pasti sakit tuh kalo ceweknya tau"

"Nggak usah lo bilang gue juga paham keless.."

"Ya terus kalo paham kenapa masih mau"

Gue menghembuskan napas berat "karena... kayaknya gue beneran cinta sama Alvin"

Kali ini giliran Radit yang menghembuskan napas berat. Doi juga jadi ikut-ikutan bersandar ke kursi dan melipat tangan di depan dada juga.

"Hemm... rasa yang tepat di waktu yang salah nih, kayak lagunya Fiersa Besari nggak sih."

Radit terhenyak, langsung bangkit dari sandarannya dan melihat ke arah gue

"Pantesan ya lo jadi sering banget dengerin lagu itu. Jangan bilang.. Sumpah jangan bilang kalo lo udah lama jalan sama Alvin"

".....udah sebulan lebih sih" jawab gue lirih

"Astaga naga bonar jadi dua" 

Hening. Beberapa orang sudah mulai masuk ke ruangan.

"Dah ah, gue mau bikin kopi dulu" . gue akhirnya bangkit meninggalkan Radit yang kembali bersandar di kursinya.

Sejak kejadian di tempat makan kemarin, gue jadi berusaha menghindari Alvin. Antara nggak mau jadi perusak hubungan orang dan gue sendiri juga masih nggak enak hati. Kalo inget bawaannya ingin marah terus, padahal gue siapa? Punya hak marah aja enggak kan. Selingkuhan bisa apa?

Gue membuka bungkus drip bag kopi Aceh Gayo. Aromanya menenangkan. Entah sejak kapan gue jadi sering bikin kopi. Padahal dulu belum secandu ini. Pantry kalau pagi gini selalu sepi. Orang-orang belum pada datang. Dan disini sejenak gue bisa menenangkan diri sebelum menghabiskan 8 jam menghirup udara di ruangan yang sama dengan Alvin.

Asap mengepul dari cangkir kopi, gue menyesap pelan-pelan sambil duduk di salah satu kursi yang menghadap ke jendela. Pemandangan jalan raya di depan gue sudah mulai padat merayap. Untuk beberapa menit gue merasa tenang sampai seseorang menarik kursi disamping gue

"April.." sapanya lemah

Gue menoleh, melempar senyum tipis padanya

"selamat pagi" sapa gue. Gue harus terlihat baik baik saja kan meskipun hati gue rasanya teriris melihat manusia ini bisa-bisanya tanpa dosa menggengam tangan gue di bawah meja

"Jangan menghindar lagi, please..." katanya dengan intonasi sama lemahnya

"Enggak kok"

Genggamannya pada tangan gue makin mengerat

"Jangan tinggalin aku, April"

Gue menoleh, "kamu nggak salah ngomong?"

"Aku serius, be mine April..."

Kali ini gue menggeleng "nggak bisa. Posisiku sudah salah dari awal"

"Kali ini nggak lagi.. Nggak ada yang salah. Aku aja yang kemarin nggak bisa tegas sama perasaan sendiri"

"Maksudnya?" gue memilih buat bertanya daripada menerka-nerka

Alvin menghembuskan napas berat "Sekali lagi, gue udah putus sama Farah"

Gue cuma melempar senyum kecut dan memilih melepas genggaman tangannya. Meraih kopi gue dan menyesapnya berkali kali.

"Setelah jadi orang ke tiga di hubungan kalian, sekarang aku sukses merebut pacar orang" kata gue, menerawang

"Jangan bilang gitu, hati manusia siapa yang tau,April. kalau pada akhirnya aku milih kamu...."

"Kamu egois" gue memotong kalimat Alvin

"Aku juga egois. Sudah tau keadaannya kayak gini masih maksa" lanjut gue. Alvin terdiam

"Pikirkan lagi. Dengan kepala dingin. Aku nggak buta, Vin. Aku lihat kamu yang kawatir banget denger Farah sakit kemarin, aku bisa lihat perasaanmu masih ada buat dia."

Gue bangkit, meraih gelas kopi dan berjalan kembali ke ruangan. Alvin masih membatu, diam di tempatnya. Entah apa yang ada dipikirannya, gue nggak mau tau. Posisi gue sudah salah dari awal. Kalau masih maksa lagi buat maju, entah karma macam apa suatu saat yang bakal gue terima.

Kali ini, entah kenapa kantor gue rasanya jadi hampa udara

Love IssueWhere stories live. Discover now