Bab 9. An Anger2

288 47 9
                                    

Rosali terdiam karna merasa bersalah dengan apa yang ia lakukan pada Adila. Ini pertama kalinya juga Rosali menampar putrinya. Namun Asbar pun, tidak menyalahkan tindakan Rosali, karna memang sikap Adila yang sudah keterlaluan dan berlebihan.

Saat Rosali hendak beranjak dari duduk, dan mengejar Adila. Tiba-tiba lengan suaminya menghentikan langkah Rosali.

"Sudahlah sayang, beri waktu untuk Adila sendiri dulu. Dia bukan anak kecil yang harus di bujuk setiap kali melakukan kesalahan. Biarkan dia memikirkan kesalahannya," tegas Asbar.

Mendengar ucapan Suaminya, Rosali pun, kembali duduk dan terdiam. Rosali benar-benar bingung dengan apa yang harus dia lakukan saat ini.

"Hubungi Fadhil, bilang padanya untuk segera menemuiku. Aku ingin bicara padanya," ucap Asbar dengan wajah datar.

Rosali mengangguk dan meraih ponselnya untuk menghubungi Fadhil. Setelah tersambung, Rosali memberikan ponsel tersebut pada Asbar, suaminya.

"Fadhil, temui aku satu jam lagi di One Fifteenth Coffe." Perintah Asbar.

**

"Dad, maaf menunggu," ucap Fadhil yang saat itu baru datang.

"Duduklah," perintah Asbar tersenyum.

Fadhil menarik kursi yang berhadapan dengan Asbar, lalu duduk. Setelahnya Fadhil memilih untuk memesan Cofee.

"Dad, boleh aku bertanya kenapa dady menyuruhku bertemu disini?" tanya Fadil penasaran, karna memang sedari tadi Fadhil terus saja bertanya-tanya dalam hatinya.

Sejenak Asbar terdiam sejenak mendengar apa yang di ucapkan Fadhil, dengan wajah datar tanpa ekspresi Asbarpun menghebuskan napas panjangnya, lalu menatap Fadhil.

"Fadhil, daddy sebenarnya merasa malu sama kamu. Daddy hanya ingin tau, Apa selama ini Adila sering menyakiti Hatimu?" tanya Asbar yang tidak melepaskan padangan pada sosok menantunya.

Fadhil menatap Asbar dalam diam, begitu terlihat jelas di wajah Asbar kalo dirinya seperti merasakan kesedihan seperti yang Fadhil rasakan.

Beda halnya dengan Asbar, yang merasa sedih karna sudah menjadi orang tua yang gagal mendidik Adila.

"Dad, ini hanya masalah waktu. Akuu yakin Adila bisa berubah dan menghargai pernikahan ini," jawab Fadhil.

"Fadhil, kamu anak yang baik. Tidak heran kalo aku mempercayakan Adila pada dirimu."

"Dad, jangan bicara seperti itu, aku juga punya hak tentang Adila."

Asbar menghela napas kasar lalu menatap kembali menantunya.

"Fadhil, sebenarnya ada yang ingin daddy katakan lagi."

"Apa itu dad," tanya Fadhil penasaran.

"Fadhil, Kalo kamu sudah tak sanggup dengan Adila. Daddy tidak akan marah padamu, jika kamu menyerahkan Adila kembali pada kami," ucap Asbar dengan begitu tenang.

Fadhil terdiam seraya memijat pelan dahinya. Ia bingung harus menjawab apa. Fadhil merasa serba salah dengan apa yang di ucapkan mertuanya.

Satu sisi memang benar adanya kalo ia tak bahagia dengan pernikahannya. Di satu sisi Fadhil juga masih memegang teguh prinsipnya tentang sebuah ikatan suci.

"Fadhil, kamu tidak usah jawab sekarang. Kamu bisa memikirkannya terlebih dahulu," ucap Asbar karna melihat Fadhil yang terdiam. Akhirnya Asbar memilih untuk hengkang dan berpamitan pada Fadhil.

"Daddy!" Seru Fadhil, mencoba menghentikan langkah mertuanya.

Asbar menoleh kembali ke arah Fadhil.
Saat itu juga Fadhil berdiri dan mengajak Asbar kembali duduk.

"Dad, Fadhil tidak akan menghancurkan pernikahan yang sakral dan suci ini. Fadhil tau Adila gadis baik, Fadhil juga yakin, Adila akan menerima pernikahan ini cepat, atau lambat."
Fadhil menghela napas panjang lalu kembali melanjutkan ucapannya. "Sebenarnya Fadhil juga sedang membuat penawaran pada Adila. Tapi sayangnya Adila belum memberi jawaban atas perjanjian itu."

"Penawaran? Perjanjian? Maksudnya gimana? Daddy tidak mengerti," tanya Asbar bingung.

"Perjanjian untuk saling mengenal selama lima bulan dad. Tapi kalo selama lima bulan kami tidak mempunyai rasa, satu sama lain, Aku akan menyetujui permintaan Adila apapun itu. Termasuk mengabulkan permintaan Adila untuk bercerai," ucap Fadhil tak yakin.

Sejenak Asbar terdiam, seperti merenungi setiap kata yang di ucapkan Fadhil.

"Baiklah kalo memang itu yang terbaik. Daddy akan bantu kalian untuk bisa saling mengenal sebisa mungkin. Tapi daddy minta padamu, untuk kembali ke rumah," pinta Asbar.

"Hmm, baiklah. Tapi Fadhil tidak bisa pulang sekarang. Mungkin nanti malam baru bisa pulang," jawab Fadhil.

"Yasudah, kalo begitu daddy pamit pulang dulu. Jaga dirimu baik-baik," tegas Asbar menepuk sebelah pundak Fadhil.

Asbarpun, melangkahkan kakinya keluar ruangan. Tak lama disusul Fadhil yang ikut keluar.
.
.
.
.
.
.
Bersambung.

Hallo guys, jadikan reading list novel ini di daftar pustaka kalian. Biar dimana aku update kalian bisa tau.

Stay In One MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang