v. bersua

116 14 2
                                    


ㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ“oit, bro.” mahesa yang datang membawa satu kotak sigaret yang menjadi lahapan para lelaki.

weits, udah pamitan sama aruna nih, bang?” usik gama niat bergurau.

“udah, pagi-pagi liat si aruna bikin gue jadi semangat ketemu bu sinar.”

“apaan lo bucin banget kayak gini,” kata satya sembari menyesap puntung rokoknya.

“daripada lo, digantung sama si shinta.” dean ingin si teman sadar.

“bacot ah lo.” kata satya yang bergerak melayangkan jitakan.

"santuy ngapa, sat.” dean mengusap sirahnya, sakit. satya bisa se seram ini.

barga hanya menggelengkan sirah, heran kepada semua insan yang ada di sisinya sekarang.

tak berhenti menyesap puntungnya, barga tersadar akan satu hal.

gadis yang ada di sebelah tama, siapa asmanya? ia ingin segera bertemu tama dan melontar tanya.

barga menghidupkan benda pipih itu lalu membuka aplikasi surat-bersurat untuk mengabari tama.

sungguh, barga dibuat gila oleh si gadis itu. netranya sungguh memesona.

 netranya sungguh memesona

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

bodoh, batin barga

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

bodoh, batin barga. bisa-bisanya ia bertingkah seperti itu, mana barga yang biasanya tak peduli pada semua sisi?

luluh akibat puan yang hanya ia tatap sekejap.

barga mengusap surainya kasar; yang lain terheran.

“kenapa lo, ga?” satya menaikkan alis, menggoda barga. ia hampir tidak waras jika menggoda. karena biasanya barga hanya pasif saja tutup bicara.

“sawan, ga?” gama menambah.

“pusing, ga?” mahes mengalikan.

“udah, goblok, pusing barga nya.” dean membagi.

barga merotasikan bola mata dan beranjak dari zona aman itu.

“woi, barga! mau kemana?” tanya mahesa.

barga membalik raga dan bertutur.

“kepo.”

singkat, padat, sangat-amat jelas.

“astaghfirullah,” mahesa mengusap dada, sabar.

“gapapa aa mahesa, ada satya di sini.” satya mengusap punggung mahesa.

mahesa menepis tangan nakal satya,
“anjing bangsat homo pergi lo, gue maunya nikah sama aruna.”

“astaghfirullahaladzim.” giliran satya yang mengusap dada seraya menampakan paras sok suci.

gama dan dean hanya memasang wajah jijik di hadapan satya.

aing mah sabar ya, anying.” satya berpisuh.

ㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ“oit, ga!” panggil tama yang melihat barga menampakkan batang hidung.

“jadi ga?” tanya tama.

rasanya tak rela dicap menjadi barga yang sekarang tidak suka menyendiri.

tapi ia tak sabar.

“jadi.”

ㅤㅤㅤsesampainya di depan kelas nayya, tanpa basa-basi tama mengembalikan buku milik nayya.

“nih, nay.” tama menyodorkan buku kepada si pemilik.

“makasih, ya.” manisnya.

manisnya dibalas dengan manis oleh nayya.

“sama-sama.”

“oh iya, nay, si kanya mana?” ingin menepati janji.

nayya menaikkan alisnya, mengapa tama mencari kanya? ada apa ini?

“ada di dalam.” jawabnya dengam curiga.

“panggilin dong!”

“tunggu.” pemudi ini sangat sopan, memanggil saja tak mau berteriak.

datang-datang ia membawa sangayu ke hadapan tama.

“oh iya, nya, temen gue ada yang mau kenalan sama lo.” kata tama.

nayya pun lega.

“nih orangnya. gue tinggal dulu sama nayya ke perpustakaan.” tama menarik tangan nayya supaya mengikutinya; naya kacau, bola netranya membesar.

sangayu tersenyum tepat di hadapan barga sembari melambai tangan.

“hai.”

barga mengusap tengkuk yang seketika merinding.

“hai.” balasnya tersenyum kikuk juga melambai tangan canggung.

kanya terkekeh ringan.

“jangan canggung sama gue, kenalin nama gue kanya.”

barga terpaku, tak sadar bahwa sangayu telah melontar kalimat.

kanya mengerutkan dahi; melambaikan tangan tepat di wajah si barga.

“o–oh, hai, gue barga.” senyumnya terlihat kaku, bukan seseorang yang pro.

sangayu kembali tersenyum.

bagaimana ini? sebentar-sebentar kany mengulas senyum, bagaimana dengan perasaan barga yang sepertinya tak sehat ini?

“lo jangan sungkan sama gue, kalo lo butuh teman cerita, teman apapun, datang ke gue.”

tepat. ini yang barga butuhkan.

“tapi, lo harus bantu gue komunikasi, gue sebenernya jarang bicara, tapi gue tertarik buat ngeluarin suara di depan lo untuk waktu yang lama.” astaga, penulis semesta ini saja kaget melihatnya?

“ya, akan gue bantu semampu gue.” kata sangayu seraya menyodorkan tangan.

“gue rasa, perkenalan tadi belum memuaskan.”

“gue kanya sangayu pramesti,” lagi-lagi sangayu mengulas senyum.

tak merasa terbebani, barga tersenyum kaku lagi dan mengambil tangan sangayu.

“gue barga adicara.”

ㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ

CELAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang