Prolog

221 20 0
                                    

Seluruh notifikasi di ponselnya telah diindahkan. Email yang masuk pun sudah dibalas dan direspon. Jika harus mengerjakannya, ia akan mengunduh file itu dan berniat melanjutkannya nanti. Sejak kepindahannya dua hari lalu, kondisi rumah masih tidak kondusif dan hari libur kali ini akan digunakan sebaiknya untuk bekerja.

Semua aplikasi sudah ditutup, hingga tersisa wallpaper untuk bagian Home ponsel pintarnya. Disana adalah foto hitam-putih, terlihat jelas merupakan hasil jepretan dari lembaran yang sudah kusam. Seorang wanita tersenyum manis di tengah seorang pria tinggi besar berwajah kaku dengan kaos merah les putih, dan seorang pria lain yang lebih pendek berkulit putih dan mengenakan kemeja biru muda terkancing hingga leher. Jelas ketiganya berfoto di studio, namun cukup mahal untuk mendapatkan salinan selain warna monokrom. Di bawahnya tertulis indah sebutan untuk mereka bertiga.

Tiga Waktu, 1998.

Entah bagaimana mereka bisa membahasakan diri seperti itu.

Seorang anak laki-laki berumur 4 tahun masuk ke kamar yang masih cukup berantakan. Matanya dikucek sebentar, untuk menyesuaikan pandangannya sehabis bangun tidur. Ia mengucap selamat pagi pada anaknya, lalu mengusap kepalanya singkat. Si anak terkekeh lalu tersenyum miring hingga lesung pipi di kanannya melengkung.

Senyum sang anak, benar-benar mengingatkannya pada salah satu diantara ketiga orang di foto lawas ini. Membuatnya ingin mengenang, kembali sesaat ke masa itu, yakni ketika kebahagiaan bukan kala mereka membuka akun media sosial dan memamerkan segala privasi disana. Itu adalah masa yang indah, saat ketiganya berkumpul tanpa ponsel di tangan dan hanya tawa, canda, perbincangan hangat publik, hingga duka serta air mata yang menemani kehidupan mereka.

- To be Continue -

Tiga Waktu 1998Where stories live. Discover now