Epilog

30 7 2
                                    

Dahlia berhenti menatap foto monokrom yang terpasang di wallpaper ponselnya. Tentang Tiga Waktu yang mereka jalani. Semuanya juga tentang waktu yang tidak akan mungkin kembali. Ia berterima kasih pada masa lalu yang indah sehingga ia bisa mengukir masa depan terbaik. Jika tidak ada pertemuannya dengan kedua pemuda luar biasa tersebut, tidak mungkin ia bisa berjodoh dengan Firma, atau ayah dari anak yang sedang mengucek mata sambil duduk di pangkuannya?

"Fero, nyenyak tidurnya?"

Anak yang ditanya hanya mengangguk. Setelah itu ia menatap ibunya dengan senyum miring yang terukir. Ah, benar. Ia mirip sekali dengan paman dan ayahnya.

"Papa!" kata Fero menunjuk foto pria di sebelah kiri Dahlia dalam lembar monokrom digital tersebut.

"Itu paman, Sayang."

"Kayak Papa!"

Sang ibu mengangguk. "Karena mereka kembar, wajahnya sangat mirip."

Anaknya tidak menjawab dan hanya menatap layar itu seolah meresapi perbedaan antara ayah dan pamannya.

Suara pintu diketuk membuat Dahlia melepas semua pekerjaannya dan menggendong sang anak untuk sama-sama membuka pintu. Dilihatnya adalah Firma yang mengenakan kaos putih dan celana jins. Hari Minggu ini biasanya waktunya bagi pasangan suami istri tersebut untuk berbelanja. Namun karena kelelahan setelah mengemas rumah, maka Firma lah yang berbelanja.

Tapi, Firma kembali dengan tangan kosong, tanpa membawa apapun.

"Tidak ke pasar?"

Firma menggeleng. "Aku hanya ingin kembali saja."

"Kembali apanya?"

Firma tidak menjawab. Ia melihat Dahlia dengan sorot rindu seolah mereka sudah sangat lama tidak bertemu. Padahal, belum sampai dua jam mereka terpisah. Dahlia pikir ini mungkin karena suaminya lelah namun masih saja terpaksa menyeret kaki ke pasar. Biasanya ia akan menenangkannya dengan secangkir kopi. Ia meminta suaminya duduk di sofa ruang tamu sementara dirinya ke dapur sambil menggendong Fero.

Anak bungsunya juga bertingkah aneh. Tidak bicara sepatah katapun dan hanya memperhatikan ayahnya di ruang tamu sambil lalu.

Della―putri pertama Dahlia―keluar dari kamar. Dahlia melihat sosoknya namun tidak mempedulikan. Putrinya itu memiliki radar yang sangat baik untuk menemukan ayahnya sekalipun pria itu datang tanpa menggunakan suara. Saat Dahlia menuangkan air panas, suara tangisan putrinya terdengar keras. Ia menarik termosnya dan keluar dengan terburu-buru karena khawatir anaknya tersandung atau hal buruk lainnya.

Namun, gadis kecilnya menangis sendirian tanpa luka. Dahlia sudah membolak-balik tubuhnya seperti lembaran buku, namun tidak menemukan penyebab tangisan sang anak.

"Kenapa, Sayang?"

Diantara isakannya, Della berujar pelan. "Ada hantu!"

Dahlia percaya tidak percaya jika anaknya melihat hantu. Namun, ia bertanya-tanya, ke mana Firma yang seharusnya berada di ruang tamu?

Seolah menjawab pertanyaan tersebut, suara motor terdengar memasuki halaman. Dahlia menaikkan alis, semakin dalam merasakan kejanggalan. Ia menyambut sang suami yang mengenakan kaos putih dibalut jaket hitam dan celana panjang kain warna dongker. Di depan pintu, wanita itu terlihat seperti istri dengan dua anak di kanan dan kiri yang menunggu kepulangan sang suami yang telah berbulan-bulan menghilang dari muka bumi.

Hal ini membuat sang suami yang menenteng belanjaan hanya memiringkan kepala. "Hei, kalian kenapa?"

Putri mereka langsung memeluk erat. Ia menangis dan mengadu soal hantu kepada sang ayah. Firma menatap istrinya, meminta penjelasan. Namun, yang ia dapat hanya paras pucat yang tidak bisa menjelaskan apapun. Pria itu beralih pada anak lelaki bungsunya yang sedang bertepuk tangan ceria―sangat berbeda dengan sikap dua wanita di rumah ini.

"Hei, Jagoan." Firma meletakkan belanjaan di lantai dan berlutut agar sejajar dengan sang anak. Della masih memeluknya erat dengan gemetar yang tidak menutupi rasa takutnya. "Ada apa?"

"Papa!" panggilnya antusias, begitu bersemangat. "Tadi ada Paman!"

Dahlia pucat. Ia sudah berpikir hal terburuk, namun tidak menyangka sang anaklah yang membenarkan pemikirannya. Wanita itu berjalan mundur, tiba-tiba merasa pusing. Ia terduduk di sofa dan bersandar karena lelah.

Firma panik mengira istrinya kekurangan darah. Dahlia menggeleng dan menggenggam tangan suaminya. "Hei, dengarlah, sekalipun ini memang terdengar tidak masuk akal." Wanita itu berbisik. "Fero benar. Tadi Darei kemari."

Yang didapatinya adalah tertawaan. Suaminya mengira ia bercanda. Tidak, tidak benar-benar mengira itu bercandaan karena ekspresi wajah istri dan putrinya bukanlah main-main. Hanya putranya yang tertawa. Sikap yang menandakan bahwa ia masih murni paham mana yang baik dan jahat. Sementara sang kakak dan ibunya hanya memandang sebagai hal kasat yang menakutkan.

Firma memandang ke kanan, kiri, belakang, dan atas. Ya, ini baru terjadi di rumah baru mereka. Entah pertanda baik atau tidak, ia yakin yang telah meninggal tidak akan mungkin kembali. Apapun yang mereka lihat, tidak lain hanya rasa rindu yang tervisualisasi secara kebetulan.

"Mungkin karena rumah baru ini. Apa kita lebih baik pindah saja?"

~ TAMAT ~

Tiga Waktu 1998Where stories live. Discover now