Chapter 7. Perang

25 6 2
                                    

Peringatan: Berdarah-darah, kekerasan, pembunuhan

Sekalipun tidak menginginkannya, bertani sudah menjadi rutinitas Dahlia selama sebulan di kampung. Ia tidak mungkin hanya menonton saja ketika ibu dan kakaknya sedang menebas sisa padi lalu menanamnya ketika tanah sudah basah. Kala sudah habis masa bercocok tanam, ia lebih merasa santai. Kesehariannya hanya berputar pada tiga aktivitas. Makan, sedikit bersosialisasi, lalu tidur. Ia sudah mendedikasikan kehidupan liburannya di kampung ini untuk beristirahat total dan tidak ada yang bisa menyalahkannya.

Kecuali ketika ia sadar bahwa ia sedang tidak di posisi berkecukupan dengan keluarga angkat yang bisa membiayakan kuliahnya. Ia sudah hidup sendiri. Sekalipun bebas, untuk hidup di tanah orang ia perlu mengumpulkan uang lebih banyak. Harapannya, saat pulang kampung ia bisa meminta uang dari kakak dan abangnya. Namun, sampai detik ini uang itu belum cukup untuk keperluannya.

"Harga karet jatuh. Tidak ada kendaraan yang berani memasarkan karet dalam kondisi seperti ini," kata abangnya suatu hari saat Dahlia meminta uang.

'Kondisi' yang dimaksud adalah timbulnya api peperangan. Tidak dalam makna konotatif tentunya. Perselisihan antar suku masih kerap terjadi di tanah ini. Jika hanya sebatas pertikaian antar desa tentu masih bisa ditoleransi. Namun, dari daerah hulu terdengar kabar jika perang sudah semakin meluas dan itu tidak lagi melibatkan masyarakat desa namun suku pada kelompok besar.

Semua bermula dari kesalahpahaman seorang pemuda dengan pemuda lain dari suku yang berbeda. Hanya bentrokan kecil membuat salah satunya meninggal. Rasa kekeluargaan menjadi dasar bagi suku pemuda yang meninggal itu untuk melawan. Awalnya hanya sekadar memberi pelajaran untuk yang terlibat dalam pertengkaran kecil itu. Namun, kelamaan rasa harga diri yang tidak ingin diinjak menjadi percikan api yang semakin lama membesar menjadi kobaran. Genderang perang dibunyikan, kini wilayah hulu yang dekat dengan perbatasan negara tetangga memanas.

Wilayah pertengahan hulu―kampung halaman Dahlia―sudah mulai nampak terkena imbas. Sejak beberapa hari yang lalu, masyarakat tidak lagi merasa tertarik untuk bertani. Jarang sekali ditemukan orang-orang yang keluar tas yang dijinjing di kepala untuk membawa bibit padi. Mereka kebanyakan terlihat berada di rumah, sibuk membersihkan pedang khas sukunya yang tipis ramping namun kelebat tajam. Perisai bercorak merah-kuning adalah teman dari pedang itu. Semua sudah bersiap jika keadaan memaksa untuk turun berperang.

Percikan peperangan itulah yang membuat kendaraan takut untuk lewat atau mengambil karet dari petani―tidak ingin menggadaikan nyawa. Hal itu cukup mengganggu, terutama bagi mereka yang memerlukan uang.

Dahlia hanya bertopang dagu, menatap langit yang kelihatan lebih jernih dari bumi desanya dibanding kota. Peperangan sudah meluas di hulu. Lalu, bagaimana kabar Darei? Apakah ia benar-benar melakukan rencananya? Mungkin ia sudah berada di puncak gunung, namun akan sulit baginya untuk kembali jika perang masih terjadi. Tidak ada yang mengabarinya. Ia tidak mengharapkan Darei menghubunginya, tentu saja―pertengkaran terakhir mereka jelas masih berbekas. Sampai saat ini, hatinya masih bergemuruh akan rasa khawatir. Seperti ia tidak akan melihat sahabat-sahabatnya lagi.

"Apa yang aku pikirkan?" Gelengan kepala dan tamparan menjadi jawaban atas pikiran bodohnya. Baiklah, fokus. Ia harus menemukan cara untuk mendapatkan uang dan membayar uang kuliah sebagaimana mestinya.

Semakin dipikirkan, rasanya hanya kebuntuan yang didapatkan. Ia menyerah dan memutuskan sesuatu yang agak berat. "Aku harus pulang lebih awal. Mungkin, seminggu lagi."

***

Sayangnya, keadaan seminggu lagi yang dimaksud tak lagi sama.

Pagi itu Dahlia terbangun sangat pagi. Tidak, langit bahkan belum terang sama sekali. Ia yakin bulan masih ada di atas sana. Saat itu sekitar pukul 2 pagi dan sangat tidak biasa mendengar keributan yang sangat keras di luar. Derap langkah terdengar, menekan keras lantai papan, menandakan langkah penuh keterburuan di luar sana. Tiba-tiba saja rasa kantuk hilang. Ia langsung keluar kamar untuk memastikan keadaan.

Tiga Waktu 1998Where stories live. Discover now