Chapter 5. Membeli Oleh-Oleh

20 6 0
                                    

Akhir semester 6 adalah mimpi indah. Libur yang diberikan tidak kurang dari dua bulan. Kesempatan baik untuk liburan, mengerjakan proposal skripsi, maupun pulang kampung. Ya, pilihan terakhir itu yang sedang dipersiapkan Dahlia.

"Pulang kampung setelah tiga tahun tidak pernah kembali. Kuharap keluargamu tidak menganggap gubernurnya yang datang ke rumah." Sikin berceloteh sambil mencoba beberapa sepatu kulit hanya untuk kebanggaannya―karena seratus persen tidak akan ia beli.

Orang yang dimaksud tengah memilih baju yang akan dibawa sebagai oleh-oleh saat pulang kampung. Ia tidak ingin menanggapi ucapan Sikin karena ada sedikit benarnya. Banyak yang mengungkapkan bahwa wajahnya mirip dengan gubernur mereka, walaupun gubernur itu adalah laki-laki. Dan ia tidak merasakan keuntungan ataupun kerugian atas hal itu.

"Jadi, yang mana yang akan kau beli, Misna?"

Dahlia mendelik mendapati panggilan itu namun hanya bisa cemberut sambil memandangi dua helai kain di hadapannya. Harus dibelikan daster warna apa untuk Mamak? Ia kebingungan sekalipun sudah mendapatkan barang termurah di sini.

"Aku menemukan satu baju yang cocok untukmu," Darei langsung menempelkan sehelai kain ke tubuh Dahlia untuk melihat sekilas. Senyum miring langsung terukir di wajahnya sembari menyerahkan satu helai celana. "Padukan blazer manis ini dengan celana, kau akan tampak sempurna."

Bukannya melihat pakaiannya, Dahlia langsung merogoh kerahnya untuk mencari label harga. Dan... digit yang banyak membuatnya memundurkan baju itu dengan terhormat. "Maaf, bukan seleraku."

"Tidak, ini bagus sekali. Kau harus memilikinya."

"Aku tidak ingin, Darei. Jangan memaksa!"

"Ayolah, hanya satu setel pakaian ini saja untuk menyenangkanku."

"Siapa aku sampai harus kau senangi?"

"Aku lupa mengatakannya. Baju ini gratis untukmu."

Senyum Dahlia langsung terkembang. Dirampasnya baju itu dan dibawa ke kasir. "Baiklah, jika kau memaksa."

Sikin hendak buka mulut, namun ditahan Darei yang memberi gestur telunjuk di bibir agar tidak memecah konsentrasi Dahlia saat memillih pakaian. Ayolah, mereka sudah hampir 3 jam berkeliling pasar hanya untuk dua helai baju untuk mamak dan kakak Misna. Kakinya sudah terasa keram. Jika bukan karena Dahlia yang akan meninggalkan mereka selama dua bulan, tidak akan mau mereka repot-repot menjadi ajudan dadakan Dahlia saat ini.

"Selanjutnya kita..,"

"Beli nasi bungkus dan makan di lantai atas gedung itu," Darei menyeletuk ucapan Dahlia, memutus komando sepihak yang hendak dilayangkan gadis itu―seperti membeli sepatu atau apapun yang akan menggunakan banyak waktu. "Kita lanjut menjelajahi pasar setelah perut terisi." Lanjutnya ketika nampak muram di wajah satu-satunya perempuan diantara mereka.

Kesepakatan itu membawa mereka pada rooftop salah satu toko sepeda yang memiliki relasi dengan Sikin sehingga mendapatkan akses untuk naik ke atas. Sebenarnya tidak ada yang spesial selain gedung tertinggi di kota ini―walaupun hanya empat lantai. Dari titik inilah mereka bisa melihat hiruk pikuk perkotaan: orang yang menggunakan sepeda motor, mengayuh sepeda, becak, dan sedikit mobil melintas. Tidak lupa pemandangan lain seperti sungai Kapuas di sebelah utara.

Nasi bungkus mereka hanya berupa nasi padang dengan lauk tempe dan sayur daun singkong. Efek krisis moneter masih terasa dengan melonjaknya harga barang serta turunnya mata uang. Mereka membutuhkan uang 5.000 rupiah untuk makanan sederhana dan ini adalah kondisi yang buruk karena pendapatan tidak bertambah.

"Aku melihat banyak potensi yang tidak dikembangkan di kota ini," kata Darei ketika matanya tidak lepas memandang sekelilingnya dari ketinggalan 25 meter. Sebuah kota yang tidak bisa dibandingkan dengan ibukota negara namun memiliki passionnya sendiri untuk berkembang. "Aku berharap menjadi orang penting kelak agar bisa membangun kota ini."

Tiga Waktu 1998Where stories live. Discover now