🧜‍♀️1: Pertemuan Tak Seharusnya

2.7K 177 56
                                    

Setelah selesai memakai seragam lengkap, Edel memejamkan mata 'tuk beberapa menit dalam posisi terduduk di atas kasur dengan kaki menapak lantai. Rambut panjang hampir sepinggangnya masih dibiarkan tergerai berantakan. Tak seperti biasanya yang sudah disisir rapi demi menghindari pertemuan dengan Ariyanto—ayahnya.

Edel menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya secara perlahan. Tanpa sadar bukan kedamaian yang ia dapat, melainkan setetes air mata yang lolos begitu saja tanpa sadar.

Ingatan-ingatan mengenai apa yang sudah diperbuat Ariyanto selama ini berhasil berputar di kepala Edel. Sakit. Edel ingin seperti anak SMA lainnya yang bisa hidup bahagia bersama sang keluarga tanpa ada keributan sedikit pun.

"Aku pengen bahagia kayak yang lain," ucap Edel.

(Play video mulmed di atas biar bisa bayangin, ehe!)

Suara mesin motor butut berhasil memecahkan lamunan Edel. Dengan cepat tetesan cairan bening itu diusap secara kasar. Apakah Ariyanto sudah mau sampai? Sudahlah, jika memang iya, buanglah jauh-jauh harapan 'tuk bisa mengawali pagi sebelum sekolah dengan tenang.

Tunggu ... apa jangan-jangan Ariyanto sedang melampiaskan amarah melalui gas motor bututnya itu karena kalah berjudi?

Edel menatap ke luar jendela. Tak ada siapa pun di sana. Eh, tapi ada sesuatu yang sepertinya Edel lupakan. Bukankah itu adalah dering telepon masuk yang sengaja ia putar agar cepat mengangkatnya? Sebab Ariyanto paling tak suka menunggu lama demi mendengar suara putrinya seorang. Jadi, bisa disimpulkan bahwa nada dering itu adalah alarm agar bisa melayani Ariyanto dengan cepat.

Astaga ... itu artinya sudah berapa detik yang Edel lewatkan demi berpikir? Habis sudah nasib Edel pagi ini.

Jari-jari kurus kering bagaikan kentang goreng itu bergemetar seraya mengusap layar ponselnya untuk menanggapi panggilan dari Ariyanto.

"Kenapa lama angkat teleponnya?! Punya telinga, nggak?! Itu jari kamu masih bisa dipake, 'kan? Kalau enggak bisa lagi, potong aja jari itu biar saya jual buat modal judi!" teriak Ariyanto di balik telepon. Edel segera berjaga jarak dengan ponselnya sembari menahan air mata. Ia takut jika sang ayah sudah berkata seperti ini, pasti saat pulang sekolah nanti sebuah hal buruk akan terjadi.

"Ma-ma-maaf, Pa. Tata ng—" Edel benci nama Tata, tapi mau bagaimana lagi? Sang ayah suka memanggil nama busuk itu sejak Edel kecil. Nama yang mengingatkan Edel pada awal mula kehancuran.

Belum selesai Edel berbicara, emosi pria paruh baya itu dibuat semakin melonjak tinggi, padahal hanya mendengar suara Edel. Jika bukan karena ada kepentingan, tak akan pernah pria itu sudi mendengarkan suara putrinya sendiri.

"Saya kalah judi gara-gara kamu! Sebagai gantinya, taro Rp500.000,- di atas meja! Kalau sampe saya pulang nggak ada, saya bunuh kamu!"

"I-iya, Pa. Tata bakal taro di meja deket pintu masuk." Tangis yang awalnya ia pikir hanya berlangsung sebentar nyatanya singgah lebih lama, bahkan suaranya menjadi semakin  kencang saat menyentuh gambar mengakhiri panggilan. Edel harus cepat jika ingin selamat dari terkaman Ariyanto.

Memang mereka tinggal di rumah yang sama setiap harinya, tapi ... hubungan keduanya tak pernah terlihat baik, bahkan jika ingin memiliki fisik tanpa luka, Edel harus berhati-hati saat di dalam rumah. Terutama ketika mood Ariyanto sedang buruk. Jika sedang bagus pun, itu dikarenakan menang berjudi.

Edelweiss [Completed]✔️Where stories live. Discover now