Memulai

139 12 2
                                    

Dimas serius tentang ucapannya akan berusaha membuat Afaf yakin pada dirinya. Dan seminggu belakangan Dimas menjadi sangat aktif, sering menghubungi Afaf di luar waktu kerja, rutin membuntuti mobil Afaf ketika pulang kerja. Dan yang paling menggemparkan adalah pagi ini Dimas menjemput Afaf ke rumahnya. Sontak itu membuat ibu dan Ayah nya heboh.

Si Ibu terburu-buru berjalan menuju meja makan. "Neng, itu di luar ada cowok kasep pisan. Nyari kamu!"

"Siapa sih? Erik?"

"Ih lain! Kalo yang dateng si Erik mah udah ibu hajar!"

"Ibu suruh masuk gak cowok itu?" tanya bapak.

"Udah, tapi gak mau, gak enak katanya. Mangkanya dia nunggu di depan. Hayu atuh kamu cepetan sarapannya!"

Afaf berdecak kesal, ia tak suka acara sarapannya di ganggu seperti ini. Setelah mengahabiskan selembar roti tawar dan segelas air putih, Afaf beranjak dari tempatnya di buntuti Si Ibu dan Bapak yang ikut berjalan ke luar.

"Ibu sama Bapak ngapain ikut?"

"Nya mau lihat calon menantu atuh," jawab Si Ibu.

"Ih, calon menantu apaan? Orang Afaf juga gak tahu yang di luar itu siapa."

"Ya mangkanya Bapak dan Ibu ikut nemuin dia biar tahu."

Afaf menghela nafasnya berat. "Ya udah, tapi jangan nanya yang aneh-aneh."

"Iya."

Ketiga kembali melanjutkan langkahnya ke luar dan menemukan Dimas yang sedang duduk manis di bangku teras sambil bersenandung ria.

"Dimas,"

Refleks Dimas berdiri dan menghadap Afaf.

"Bu,"

Kening Ibu dan Bapak berkerut.

"Ibu? Jadi ini teh saha? Kok manggil kamu, Bu?" Si Ibu bertanya.

"Saya–"

"Temen deket Afaf, bu. Tadi tuh panggilan buat ibu, bukan ke Afaf."

Ibu dan Bapak mengangguk. "Oh."

"Kamu mah, suka bilang temen deket terus, bilang atuh 'calon menantu ibu dan bapak' gitu." Si Ibu menggoda.

"Emang iya, Bu." Refleks Dimas menjawab semangat. Membuat Afaf melotot.

"Ah!" Si Ibu dan Bapak bersorak girang.

Afaf masih melotot pada Dimas, yang di pelototi malah cengengesan.

"Ya udah kita pergi yuk, Dim!"

"Yuk, Faf!" Dimas tertawa dalam hati karena bisa memanggil Afaf tanpa embel-embel 'ibu'.

"Pak, Bu. Afaf pamit ya. Assalamualakum." Kemudian menyalami keduanya bergantian.

Dimas juga ikut-ikutan menyalami. "Dimas juga pergi ya Pak, Bu."

Si Ibu tersenyum sambil mengusap kepala Dimas. "Semoga kalian langgeng ya."

Sepanjang perjalanan menuju kantor Afaf memasanf wajah masam. Bukan karena di jemput menggunakan motor vespa matic, melaikan karena kelakuan Dimas di hadapan orang tuanya tadi.

"Kenapa sih Bu diam aja?" Dimas melirik wajah Afaf lewat spion kanan.

"Kamu mau saya ngomong apa?" jawab Afaf ketus.

"Maaf, Bu."

"Kamu tuh ngapain sih, ngomong kayak gitu ke orang tua saya?"

"Ya sekalian minta restu, kan bagus juga tadi di doain supaya langgeng."

"Kamu sadar gak sih, Dim. Hubungan kita aja tuh, gak jelas."

"Mangkanya kita perjelas," kata Dimas tegas, membuat Afaf bungkam. "Kalo ibu belum siap gak apa-apa."

*****

Gosip tentang Afaf dan Dimas sudah bukan hal asing lagi di kantor ini. Afaf yang biasanya peduli dengan citra dirinya saja, sekarang jadi bodo amat dengan ucapan orang. Toh ia merasa nyaman dekat dengan Dimas.

Semua karyawan berbisik saat Dimas melewati mereka dan duduk di mejanya. Tapi Dimas tak peduli dengan omongan orang lain. Hanya saja sepintas Dimas berpikir, apa Afaf baik-baik saja di gosipkan dengan berita-berita miring seperti ini?

"Lagian tuh perawan tua gak tahu diri, pengennya sama daun muda yang bening. Karyawannya sendiri lagi."

Dimas memejamkan matanya, kesal mendengar Afaf di ejek seperti itu. Untuk pertama kalinya Dimas menghapiri para wanita tukang gosip itu.

"Gue laki-laki, Bu Afaf perempuan, salahnya dimana? Lagipula di antara semua perempuan yang ada di kantor ini Bu Afaf yang paling cantik dan cerdas, jadi wajarkan kalau gue jatuh cinta sama dia? Dan satu lagi, dia gak suka ngurusin urusan orang."

Dimas meninggalkan para wanita yang masih menganga, syok mendapat teguran.

*****

Sepulang kerja, Dimas mengajak Afaf pergi ke kedai Es Krim. Dan anehnya Afaf mau-mau saja, padahal ia tidak terlalu suka makan es krim.

"Ini Bu."  Dimas menaruh satu es krim cokelat untuk dirinya dan vanila untuk Afaf, di atas meja.

"Makasih."

Dengan antusia Dimas memakan es krim nya, sedangakan Afaf terdiam sambil mengaduk es krim vanila nya.

"Kok gak dimakan bu?"

"Ibu sama bapak mau kamu ke rumah sekarang."

"Ya udah, ayo!"

"Dim! Kamu udah ngasih harapan terlalu besar sama mereka." Afaf menatap Dimas, serius.

"Saya akan buat harapan itu jadi kenyataan, Bu."

"Dim, kamu masih sangat muda, ini tuh."

"Aku cinta sama kamu."

"Bisa jadi ini cuma rasa kagum kamu sama wanita yang lebih dewasa."

"Kasih saya kesempatan, Bu. Saya tahu, mungkin ibu masih cinta sama Erik. Tapi ayo kita jalin hubungan dulu, saya akan berusaha buat ibu bahagia."

"Dim–"

"Saya mohon, Bu!"

"Kalau hubungan ini gak berhasil?"

"Saya cuma bisa janji, saya akan berusaha bikin ibu bahagia. Kalau hasil, saya bukan Tuhan."

Afaf tersentuh dengan jawaban Dimas yang sangat bersungguh-sungguh. Dimas memang sangat pandai merangkai kata-kata.

Afaf menangguk. "Kita coba, jangan bikin saya kecewa ya, Dim."

"Beneran, Bu?"

Afaf hanya tersenyum.

"Alhamdulillah, ya Allah."

Mesi memicingkan matanya, apa dia tidak salah lihat? Itu Afaf kan dengan bocah tampan sekertaris pribadinya itu? Apa sebetulnya hubungan mereka?

Kapan Nikah?Where stories live. Discover now