“El, apa kau mau aku melakukannya?” tanya Profesor Regis tiba-tiba.

  “Huh? Tentu saja! Apa yang kau bicarakan, sih?” kataku bingung.

  “Baiklah, aku akan melakukannya” katanya dengan nada yakin. Hah? Ada apa dengannya?

  “Berapa lama waktu yang kau butuhkan untuk mengerjakan semuanya, Regis?” tanyaku padanya.

  “Mungkin beberapa hari, tapi kuusahakan kurang dari seminggu” jawab Regis. Kuharap lebih cepat lebih baik.

  “Senjataku tidak perlu” kata Ex tiba-tiba.

  “Hm?” gumamku.

  “Aku tak ingin mengganti senjataku, jadi kau tak perlu memodifikasi atau membuat cakram baru” kata Ex. Kurasa ia sangat menyayangi cakram pemberian kakeknya itu.

Dan kemudian, kami sepakat untuk tinggal lebih lama lagi disini, memberikan waktu untuk Regis memodifikasi senjata kami. Tak banyak yang bisa dijelaskan saat ini.

Angin semilir dan keheningan menerpa tubuhku yang kali ini sedang duduk di salah satu ruangan tanpa atap. Suara pipa kecil yang menyalurkan air ke dalam kolam adalah satu-satunya suara yang kudengar saat ini. Aku menundukkan kepalaku. Sebenarnya, aku tak tahu apa yang kupikirkan saat ini. Perasaanku bercampur aduk.

  “Looks like you have a lot of problem” katanya tiba-tiba. Aku mengangkat kepalaku sedikit. Ah, itu Mark.

  “I guess?” kataku bingung.

  “Kau tau, El,… kau boleh bercerita padaku jika kau mau” katanya sambil ikut duduk

  “Ng… sebenarnya aku juga tak tau apa yang mau aku ceritakan. Terkadang ada sesuatu yang sulit dijelaskan secara lisan” jawabku. Aku kembali menundukkan kepalaku.

  “…” keadaan menjadi hening. Aku tak berencana untuk mengatakan sesuatu. Entahlah, mungkin begini lebih baik.

  “Terkadang aku merindukan Dayne” ucapnya pelan.

  “Huh?” gumamku. Dayne? Ah, kalau dipikir-pikir ini sudah cukup lama sejak kami kehilangan Dayne.

  “Ya, kau tau, bagaimana pun dia adalah saudaraku dan kami telah bersama sejak waktu yang lama. Aku tau kebiasaan-kebiasaan kecilnya, bagaimana saat dia marah, atau saat dia menangis sampai wajahnya memerah” katanya lirih. Ia mulai menundukkan kepalanya.

  “Kurasa aku bisa membayangkannya” aku menimpali.

  “Ia ceroboh. Ia bodoh! Ia sangat bodoh! Kenapa ia harus pergi secepat ini?” lanjutnya lirih, tak menerima kenyataan.

  “Ia memang kekanak-kanakan sejak ia kecil, bahkan sejak ia bertemu denganku untuk pertama kalinya” katanya. Tunggu? Bukannya dahulu Dayne pernah akan bercerita tentang pertemuannya dengan Mark pertama kali namun terpotong oleh pemadaman listrik? Malangnya, ia harus merenggang nyawa sebelum ia sempat menceritakannya.

  “Ceritalah, Mark. Aku akan tetap mendengarkan” kataku pelan.

  “Aku masih ingat wajahnya saat pertama kali bertemu denganku. Ia datang ke rumahku dengan pria tua tetangganya karena neneknya meninggal. Kurasa saat itu usianya masih sekitar 5 tahun. Wajahnya ketakutan saat pertama kali bertemu denganku, haha” katanya diakhiri dengan tawa lirih. Tawanya saat ini bahkan membuatku lebih sedih.

  “Ayah bilang Dayne akan tinggal di rumahku. Saat aku menghampirinya, ia menangis. Aku yang masih kecil bingung mengapa ia tiba-tiba seperti itu. Aku hanya ingin berkenalan. Kemudian ayahku datang dan memberitahuku bahwa aku harus memakai celana terlebih dahulu sebelum aku menghampiri orang lain” katanya.

Tunggu?

Apa?!

  “Tunggu, Mark? Kau menghampiri Dayne tanpa celana?” tanyaku bingung.

  “Iya. Kurasa sekarang aku tau kenapa ia menangis saat itu” katanya bingung sambil terkekeh.

  “Ya ampun , Mark. Aku tak mengerti apa yang kau pikirkan saat itu” jawabku disusul dengan tawa ringan.

  “Hey, aku masih sangat kecil saat itu. Aku juga bingung kenapa saat itu aku sulit memakai celana” katanya bingung dan terdengar aneh di telingaku.

  “Syukurlah kebiasaan itu hilang saat aku beranjak dewasa” lanjutnya.

  “Ah Mark, aku tak bisa membayangkan bila dengan ukuran tubuhmu yang sebesar ini, kau tetap tak ingin pakai celana” jawabku disusul oleh tawa ringan. Ia juga ikut tertawa.

  “EHEM!” teriak seseorang tiba-tiba dari belakang. Aku dan Mark menengok kearah suara itu. Ah, itu Regis.

  “Dilarang berpacaran disini” katanya sambil menutup mata dan menyilangkan tangan.

  “Eh? Kami tak pacaran” jawabku.

  “Lagipula kalau pun iya, apa hubunganya denganmu?” tanya Mark membuat Regis terlihat pusing.

  “Pokoknya tidak boleh!” serunya dengan nada yang lebih tinggi. Matanya membelalak mencoba menakutiku dan Mark. Kurasa ia malah terlihat lucu.

  “Disini bahkan tak ada tanda dilarang pacaran” kata Mark. Kurasa ia sedang menggoda Regis.

  “Huft, aku akan membuatnya. Lihat saja nanti” jawab Regis ketus.

  “Daripada membuat tanda tak berguna, lebih baik kau selesaikan senjata kami. Kami harus pergi melanjutkan perjalanan kami. Tentu saja, tanpa dirimu” kata Mark. Wajah Regis memerah.

  “Tak tau ah!” serunya sambil melangkah meninggalkan kami. ia menggemaskan.

Life in Death 2 : IllusionTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon