4 | King, Prince, and Ciderella

102 33 1
                                    

Aku berjalan cepat memasuki perpustakaan. Bel pulang sudah berbunyi sejak lima menit yang lalu dan aku tidak berniat pulang di waktu yang bersamaan dengan banyak orang dari sekolah ini. Jadi, untuk membunuh waktu, aku memutuskan untuk pergi ke perpustakaan.

Aku menyukai bangku sudut di mana buku-buku klasik berjajar. Jarang sekali ada yang datang ke meja di sudut ini karena berisi buku yang mungkin menurut mereka membosankan dan mendayu-dayu.

Aku mengambil buku Cinderella. Buku ini sudah sangat tua dan lapuk, bisa dilihat dari kertasnya yang kecokelatan. Tetapi aku menyukainya, setidaknya aku bisa merasakan menikah dengan pangeran meskipun hanya karena hasil dari imajinasiku saat membaca.

Walaupun buku ini berbahasa Inggris, bukan masalah besar bagiku. Aku bisa menemukan banyak kata baru dari buku ini. Inilah salah satu alasan aku lebih senang berteman dengan buku daripada manusia. Buku memberiku banyak ilmu meskipun ia tidak berbicara, sementara manusia terlalu banyak bicara dan semua itu omong kosong.

Aku mulai tenggelam di dalam ceritanya. Imajinasiku bergerak liar memenuhi kepala, bahkan seluruh ruangan. Imajinasi adalah ruang tanpa batas. Tidak peduli bahasa, usia, gender, dan lainnya, semua orang berhak untuk berimajinasi.

"Kenapa tidak pulang?"

Aku mendongak, menatap Jungkook yang berjalan ke arahku. Aku gelagapan, bingung harus melakukan apa hingga aku memutuskan untuk pergi.

"Kenapa ya rasanya semua orang seperti menghindariku? Aku sering sekali diperlakukan seperti ini. Mereka akan menjauhiku karena penampilanku yang yah, aku sadar aku seperti brandalan, tetapi apakah penampilan begitu penting?"

Aku menghentikan langkahku, merasa bersalah karena sudah membuatnya tersinggung, lalu kembali duduk. Dia pun ikut duduk di hadapanku, lalu menatap sekeliling tempat ini yang sepi.

"Maafkan aku, Sunbae. Aku pasti kelewatan," ucapku tulus, menarik perhatiannya hingga menjatuhkan tatapannya padaku.

"Jangan meminta maaf, aku yang salah karena mengajakmu makan di kafeteria." Jungkook menatap buku dalam dekapanku. "Aku tidak tahu hal itu akan membuatmu tidak nyaman."

Aku menggeleng. "Aku tidak tahu kau sepopuler itu. Aku juga tidak menyangka kalau kau dari kelas senior."

Dia mengernyit heran. "Kau tidak pernah melihatku?" Dia menutup mulutnya dengan kedua tangan. "Tidak mungkin."

Aku tahu, dia sedang bersikap hiperbola dan belagak gila. Jadi aku mencibir. "Aku memang dari planet lain."

"Padahal aku selalu melihatmu," ucapnya yang mengundang perhatianku. "Kau gadis yang selalu berjalan menunduk, aku bahkan selalu merasa ngeri sendiri, takut jika kepalamu akan terjatuh dan bergelinding di lantai karena kau selalu saja menunduk."

"Terkadang aku tidak ingin melihat dan mendengar." Aku menggigit bibir dalamku. "Bukannya aku tidak bersyukur, hanya saja merepotkan rasanya selalu melihat orang memandangku aneh dan membicarakan hal buruk tentangku."

"Aku juga tidak ingin dilahirkan dari rahim ibuku rasanya. Lahir di keluarga kaya hanya akan membuatmu merasakan cinta palsu. Orang-orang berlomba-lomba mendekatiku, tak jarang menawarkan diri untuk menjadi kekasihku, tetapi aku tahu, yang mereka cintai dan inginkan bukan aku, tetapi uang Ayahku."

Aku meletakan buku dalam dekapanku ke atas meja. Melipat tanganku dan meletakan kepalaku di atasnya. Memandang lurus pada Jungkook yang bercerita.

Dia cemberut. "Kenapa mereka tidak coba mengencani Ayahku saja ya? Biar tahu rasa."

"Tahu rasa kenapa?" tanyaku, mengundang perhatiannya. Kami saling bertatapan, sangat lama.

"Kalau mereka mencoba mengencani Ayahku maka mereka akan berhadapan dengan Ibuku yang seperti singa kelaparan. Ibu akan mencakar wajah mereka dan membanting mereka semua sebelum mereka berhasil menyentuh Ayah." Dia bergerak seperti mengingat sesuatu. "Oh ya, Ibuku itu atlet taekwondo."

"Wow!" seruku tanpa sadar dan itu membuat wajahnya merekah senang. "Pasti kau diajarkan taekwondo olehnya ya?"

Dia mengangguk. "Benar. Awalnya aku menolak untuk diajarkan taekwondo, takut aku akan menjadi anak nakal nantinya. Tetapi aku berubah pikiran. Mau tahu kenapa?"

"Kenapa?"

"Karena Ayah dan Ibuku orang sibuk, maka aku dirawat oleh nenek dari ibuku. Nenek juga jago bela diri. Aku sering dipukuli oleh nenek karena ketahuan suka menggoda bibi-bibi, jadi aku membulatkan tekatku untuk berlatih taekwondo agar kebal dari pukulan nenek."

Aku tergelak, begitupula dengan Jungkook. Tawanya sangat menyenangkan di telingaku. Aku mulai membayangkan suaranya ketika bernyanyi, pasti sangat bagus.

"Bagaimana denganmu? Kenapa kau begitu berbeda dan unik?"

Aku mengernyit heran atas pertanyaannya. "Unik?"

Ini pertama kalinya bagiku disebut unik. Sebagian besar orang akan mengatakan kalau aku aneh. Mendapatkan kata yang berbeda darinya membuatku penasaran pada jalan pikirannya.

"Iya, bagiku kau unik. Tatapanmu secerah langit pagi, tetapi matamu pekat seperti langit malam. Hitam yang sangat cantik. Juga besar. Orang-orang akan benci berada di tempat ini, tapi kau selalu ada di sini. Di tempat yang dihindari ini."

Matanya menjelajah ke sudut perpustakaan ini. Aku pun mengikuti gerakan matanya. Lagi-lagi dia memiliki pendapat yang berbeda.

Mataku besar dan sering dianggap melakukan operasi plastik. Aku berbeda dari orang Korea pada umumnya yang memiliki mata sipit dan itu mengundang orang untuk menebak-nebak.

"Ibuku berdarah Jerman dan Ayah berdarah Korea. Perpaduan yang sedikit dipaksakan, kan?"

Jungkook berseru, membuatku terkejut. "Ah! Itu sebabnya namamu Sky. Bagaimana kalau kau menikah denganku supaya aku bisa menamai anakku Sun, Moon, Cloud, dan benda langit lainnya."

Aku tertawa. "Kau masih bisa melakukan itu meskipun tidak menikah denganku, Sunbae."

Aku yakin dia sedang mencoba menggodaku saja karena kini dia mengangguk. "Benar juga. Jadi apa alasanmu selalu berada di sini?"

"Aku benci keramaian. Sebenarnya tidak benci juga sih, hanya tidak nyaman saja," jawabku. "Aku tidak suka saat orang lain menatapku dengan tatapan menilai. Itu membuatku insecure."

"Kau cantik. Kenapa harus rendah diri?" Dia menatapku dalam, membuatku menggigit bibir.

"Terima kasih pujiannya, tetapi cantik itu relatif. Tidak semua orang menilaiku begitu karena mereka hanya akan terus berkomentar tentang aku yang berbeda."

Dia mengangguk. "It's okay, right? Not everyone have a good taste. Isn't something wrong on you, but their opinion do. Everyone have their own point of view, but you know yourself better than them."

"Aku setuju, tetapi rasanya sulit. Aku sering membaca kata-kata seperti itu dari buku, situs online, atau sosial media. Tetapi kurasa tidak semudah itu." Aku masih menatapnya dan dia masih menatapku. "Aku sering merasa dirikulah yang salah karena berbeda."

"It's okay to try something difficult, you may fall, but you can try again tomorrow." Dia memajukan tangannya dan mengusap puncak kepalaku lembut. "It's okay to be different. Different isn't always mean bad. Sometimes it's mean you are special and you know what? You are."

Aku menahan napas. Darahku berdesir hangat. You too, Cookies lovers. You are special.

MikrokosmosOn viuen les histories. Descobreix ara