point de départ

43 5 0
                                    

Airin kini berjalan menyusuri lorong lantai satu dengan tatapan fokus pada layar kaca ponselnya.

Ia sudah berjanji kepada Shirin untuk menemuinnya di kafe.

BUKKK

Tiba-tiba saja, kepala Airin terjedot tembok secara tidak sengaja. Airin langsung mengelus pelan dahinya yang memerah, ia sungguh kesakitan.

"AW!!" Airin meringis sendiri di keramaian, ia bersungut-sungut sebal kepada si tembok padahal itu kesalahannya sendiri.

Aurel dan Erica yang kebetulan juga lewat tempat itu bergegas menghampiri sahabatnya itu, keadaannya cukup aneh. Ia sibuk memarahi sebuah tembok yang ada di tempatnya, terlihat sebagai gadis yang mendapati gangguan jiwa.

"HEH!" pekik Erica menoyor kepala Airin, Airin yang mendengar serangan itu tiba-tiba langsung loncay dari pijakannya.

"Ngapain sih lo? Kayak bocah autis tau nggak!" lanjut Erica dengan dahi berkerut, ia sibuk mengamati Airin. Sepertinya temannya itu sedang kesambet lulove luna.

Airin memanyunkan bibirnya, ia ingin menoyor balik Erica tetapi ia urungkan, ia punya urusan yang lebih penting sore ini.

Airin kemudian menggeleng, ia langsung berpamitan kepada kedua temannya. Ia bahkan sempat tidak menjawab pertanyaan teman-temannya itu, membuat Aurel dan Erica hanya bisa geleng-geleng kepala.

Airin melesat jauh menuju gerbang sekolah, tak mau melanggar janjinnya. Ia rasa Shirin sanggat membutuhkannya, jadi dirinya harus bergegas.

"Eh, Rin!" panggil seseorang, Airin memutar bola mata malas. Mau tidak mau ia harus menoleh ke belakang, menjawab panggilan itu entah penting atau tidak ia harus bergegas.

Malfin kini saling tatap dengan Airin, Malfin melebarkan senyumnya tetapi tidak dengan Airin ia menatap Malfin dengan malas.

"Ayo, gue anter pulang!" ajak Malfin dengan baik hati, tetapi Airin tidak akan pulang bersama Malfin atau mungkin minta diantarkan Malfin ke kafe. Shirin bisa-bisa saja tertangkap basah oleh Malfin dan Malfin mulai mencurigainnya.

"OGAH GUE MENDING NAIK ODONG-ODONG!" tolak Airin kemudian langsung berlalu menuju gerbang dan menaiki angkot.

Malfin menautkan alisnya bingung, biasanya ajakannya itu selalu diterima tetapi sekarang malah di tolak mentah-mentah oleh sobatnya itu.

.....

Airin tiba di kafe, ia membuka pintu itu dengan perlahan setelahnya mencari tempat duduk. Sepertinya, Shirin belum sampai disini.

Oke, itu bagus artinya Airin belum terlambat.

"Kak Airin!" teriak seseorang memanggil namanya, Airin menghamburkan pandangannya ke arah samping dan mencari sumber suara.

Shirin berdiri tegap di depan pintu kafe, Airin melambaikan tangannya. Tak usah menunggu lama, Shirin telah duduk berhadapan dengan Airin di sana.

"Hai kak!" sapa Shirin agak canggung, Airin memberikan senyuman itu. Ia langsung menanyakan minuman yang akan mereka pesan.

Shirin menolak, ia tidak haus. Sedangkan, Airin hanya manggut-manggut mengerti jadinya ia hanya memesan satu untuknya saja.

"Jadi, gimana cerita kamu sama Fero?" tanya Airin membuka suara, Shirin terdiam sejenak dan langsung membuka mulut.

Airin menyimak dengan baik, ia tahu betul Fero. Ia tahu seberapa bejatnya Fero memainkan perasaan seorang cewek, membolak-balikan perasaan dan seringkali menyakitinya.

"Jadi, Fero yang nembak aku pertama kali. Aku juga bingung, Kak Fero tahu aku darimana ternyata dari Bang Malfin. Padahal, kata Bang Malfin dia nggak pernah cerita tentang aku di sekolah. Terus, pas Fero tembak aku ya aku terima dengan begonya kemudian aku mulai chatan sama dia panjang kali lebar-"

▪what if▪Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang