'▪giornale di airin~

83 5 2
                                    

  AIRIN

Jam tangan gue baru saja menempatkan jarum pendeknya pada angka delapan. Gue telah usai melaksanakan salah satu kewajiban gue di hari Selasa, yaitu Les Kimia.

Gue sudah terbiasa mengikuti bimbel sejak kelas tiga SD dan dari bimbel itulah gue dapat kenalan dengan siswa di sekolah lain. Bimbel ini juga bisa membantu gue untuk mempelajari sesuatu yang memang belum gue pahami, dan itu juga membantu gue banget untuk mendapatkan juara kelas.

Gue pun bergegas berjalan menuju parkiran dan masih menyibukan pandangan gue pada keyboard yang terpampang jelas di layar ponsel.

Hari ini, gue dijemput sama bokap karena kebetulan bokap pulang cepat. Sebenarnya, gue tidak keberatan jika tidak usah dijemput sama dia tapi dia maksa gue. So, gue turutin aja permintaan dia.

Sepuluh menit berlalu, sebuah mobil avanza bewarna silver berhenti tepat disamping gue. Gue dengan cepat langsung memasuki mobil tersebut lewat pintu jok depan, disana sudah ada bokap yang siap menyetir.

''Kamu udah makan, nak?''

Gue masih sibuk dengan ponsel gue dan tidak memedulikan bokap yang sok peduli menurut gue. Ya, hubungan gue dan bokap tidak selalu berjalan seperti halnya anak dan bapak. Bokap gue terlalu sibuk dengan pekerjaan dan gue sebal dengan dia yang lebih mementingkan pekerjaan dibandingkan anaknya.

Gue iri dengan ayah teman-teman gue yang lain. Setiap hari di antar-jemput oleh bokapnya sedangkan gue paling hanya menggunakan ojol, nyokap gue juga jarang dirumah karena dia memiliki butik di daerah Jakarta Pusat dan sering banget pulang malam.

''Airin?''

Gue tetap diam, berusaha memasang raut wajah datar milik gue yang memang sanggat tidak berteman.

''Airin, jawab Papa dong!''

Gue mendesah berat dan menurunkan sedikit ponsel gue. ''Airin, capek! Gak usah tanya-tanya Airin.''

Bokap memang orang yang sanggat cuek terkadang dan dia memang orang yang disiplin banget. Gue bohong atau telat sedikit saja sudah dianggap salah di mata dia walaupun hanya masalah sepele.

''Kamu marah sama Papa, iya?''

Gue mengambil alih untuk memasangkan earphone dikedua daun telinga gue. Gue berusaha bersikap tidak peduli dengan kicauan bokap.

''Airin!'' bokap langsung menarik earphone dari telinga kiri gue. Gue pun terlonjak dengan amarah, ''Papa bisa gak sih, kasih Airin waktu. Selama ini, Papa Cuma mikirin kerja-kerja-kerja terus. Airin juga butuh Papa, tapi Papa selalu gak ada setiap Airin butuh. Iya, Airin marah sama Papa, bahkan sudah dari dulu.''

Bokap hanya bisa mengelus dadanya, Gue berusaha menenangkan diri dari amarah. Sejak tadi, bahu gue terus saja naik-turun.

Gue benar-benar salah, seharusnya gue naik gojek saja daritadi. Sama sekali gak enak kayak gini, punya bokap yang terlalu perfeksionis dan menuntut. Gue butuh banget dia di sisi gue tapi dia selalu saja hilang dan terlalu fokus sama pekerjaannya bahkan gue ulang tahun saja dia gak ingat.

Gue benar-benar kecewa sama bokap.

''Papa minta maaf, nak. Kalau terlalu fokus sama kerjaan, Papa tau kamu pasti kecewa banget sama Papa. Papa berusaha untuk meluangkan waktu Papa sama kamu tapi kamu menyia-nyiakannya dengan cara seperti ini. Papa harap kamu mengerti, nak. Papa juga capek harus bekerja siang-malam, Papa juga kangen sama kamu dan berharap bisa terus bersama kamu seperti ini, Papa gak mau kamu terus-terusan marah sama Papa.''

Gue tersentak untuk sesaat. Tumben banget, bokap minta maaf. Mungkin dia sudah sadar dengan kesalahannya selama ini, gue jadi agak gak enak sama bokap karena bersikap terlalu kasar dan dingin ke dia.

▪what if▪Where stories live. Discover now