Eps 3

8.5K 590 14
                                    

Sebuah kesabaran harus selalu dimiliki oleh setiap orang. Ketika satu keputusan telah dibuat. Maka harus terima resiko dan akibatnya.

Semoga tunduk dan patuhnya aku pada kedua guruku yang mulia itu memberiku banyak kesabaran dan mampu membuatku ikhlas menjalani kehidupan.

Aku hanya perlu menjalaninya, selebihnya biar Allah yang membantuku untuk selalu tabah dan kuat.

Pagi ini, aku langsung disibukkan untuk mengajar ngaji anak-anak binnadzor. Karena pesantren ini tidak terlalu besar. Bahkan jumlah santrinya hanya 35 orang. Dan santri putra 20 orang.

Dan jumlah ini lebih banyak dibanding tahunku dulu yang hanya berjumlah 10 orang. Sekarang, tidak banyak santri yang menghafal. Beberapa dari mereka memilih mengaji kitab.

"Mba Nasya, Bu Nyai keluar kotanya lama?" tanya seorang santri tahfidz bernama Devina.

"Nggih, Mba. Dawuhe Umi seminggu. Tapi enggak tau juga."

"Muroja'ah dong Mba seminggu ini?" Aku mengangguk pelan.

"Nggih, sambil kalian nabung setoran biar nanti pas Umi rawuh kalian tinggal setorin."

"Ohh, Nggih Mba. Maturnuwun." Aku mengangguk tersenyum.

"Sami-sami."

Dia adalah santri terakhir yang mengaji. Dan aku tidak melihat Ashima pagi ini. Mungkin dia belum bisa ngajinya.

Aku melirik jam di dinding. Sudah pukul 7 pagi. Selepas subuh, santri binnadzor lebih dulu mengaji. Setelah itu baru anak-anak yang menghafal.

Aku harus bergegas untuk menyiapkan sarapan untuk para santri. Dan mencari Kang Afnan untuk membantuku memasak. Tapi sebelum itu, aku menyiapkan kopi dan pisang goreng kesukaan Mas Najib terlebih dulu. Dan meletakannya di teras seperti biasanya.

Mungkin dia akan terlambat karena harus mengajar santri putra lebih dulu.
Santri putri yang menghafal hanya berjumlah 5 orang. Selebihnya kitab.

Dan santri putra malah semuanya lebih memilih ngaji kitabnya dibanding menghafal. Karena mereka lebih butuh itu. Tapi jika sudah selesai kitab dan ingin lanjut menghafal juga tidak apa-apa.

Tapi, aku tidak mengajar kitab. Itu bukan tugasku, karena ada guru lain disini yang sudah mengemban tugas itu. Aku hanya perlu mengontrol mereka semua. Juga administrasi perihal pembelian kitab para santri, aku yang memegangnya.

Biasanya ngaji kitab sudah mulai. Mereka akan istirahat jam 9 untuk sarapan sebentar. Baru setelah itu lanjut lagi hingga duhur. Setelah itu jam istirahat hingga ashar. Dan jam istirahat ini dipakai untuk binnadzor kembali. Juga makan siang. Sementara yang menghafal ya setoran atau muroja'ah.

Selepas ashar, mereka ngaji lagi hingga maghrib.

Jama'ah biasanya dipimpin langsung oleh Umi. Tapi karena Umi tidak ada, biasanya sama santri senior.

Sebenarnya aktivitas ngaji tidak relatif. Selalu ada perubahan. Karena menyesuaikan jadwal ngaji kitab juga. Kadang juga yang menghafal sebisa mereka saja ngajinya.

"Kang, ini buat santri putra. Kalau yang ini buat santri putri yah." kataku menunjuk dua baskom laukan.

"Nggih, Mba."

"Nasinya kalau kurang ambil lagi aja ya, Kang." kataku lagi.

"Nggih, Mba."

"Ya sudah, saya sholat dulu. Nanti abis itu Kang Afnan anterin saya ke pasar. Belanja buat keperluan masak selama seminggu ini."

"Niku, Mba. Dawuhe Bu Nyai harus Mas Najib. Nggak boleh saya."

Aku yang mau berniat ingin ke kamar. Jadi berhenti dan berbalik lagi.

Dua Keping Rasa (Close PO)√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang