"Baiklah. Gomawo hanbina"

"Ne"


***
Aroma obat terasa sangat menusuk. Pandanganku sedikit mengabur akibat menahan bau menyebalkan ini. Menyisakan rasa pening yang tadi hampir saja berkurang.

Kami mengambil nomor antrean kemudian duduk di kursi tunggu sembari menunggu giliran. Selama itu bobby tidak henti-hentinya terlihat gelisah. Aku menggenggam lembut tangannya.

"Tenang aja B. Nggak bakalan kenapa-kenapa kok. Cuman pusing biasa" kataku menenangkan.

"Tentu saja. Kamu akan baik-baik saja" balasnya sembari mengelus pelan puncak kepalaku.

Tak selang lama sebuah mesin otomatis memanggil nomor antreanku. Bobby menemaniku masuk ke dalam.

Semua terasa begitu tegang. Ekspresi bobby yang menampakkan kegelisahan dengan jelas membuatku ikut merasakan ketegangan itu.

Beberapa menit itu terasa seperti bertahun-tahun lamanya.

"Kamu kok senyum-senyum terus sih dari tadi" protesku pada bobby saat kita berkendara menuju ke rumah.

"Loh emangnya ada yang salah kalau aku senyum-senyum?"

Meskipun senyum ialah hak segala bangsa. Tapi tetap saja tingkah seperti ini menyebalkan.

"Ya jelas B. Ini kesannya kayak, kamu bahagia diatas penderitaanku. Menyebalkan"

"Aiihhh" bola matanya hampir saja keluar, memperingatkanku agar menghentikan segala omelanku "Uuuu. Jangan dengerin ya nak. Mama kamu emang suka ngasal kalau ngomong" katanya sembari mengelus perutku.

Sontak aku tertawa geli melihat tingkahnya. Entah kemana rasa pusing itu hilang.

"Ini kamu sendiri ketawa kan akhirnya. Dasar" protesnya.

"Tapi masih pusing" keluhku dengan nada manja.

"Aigoooo"

Bobby menghentikan mobilnya kemudian dengan tergesa-gesa berlari kecil membukakan pintu untukku.

"Eh. Nggak usah. Aku bisa jalan sendiri" kataku saat bobby siap menggendongku keluar dari mobil.

Tanpa menggubris perkataanku dia menggendongku keluar sembari menutup pintu mobil dengan cara menendangnya.

"Inget kata dokter. Kehamilan kamu ini masih di usia rawan" jelasnya.

"Ya tapi nggak harus pake gendong segala kan B. Masak kamu gendongin aku tiap hari?" Protesku tapi dengan suka rela mengalungkan lenganku dilehernya.

"Eits. Papa. Panggil aku papa. Lagian yang ngeluh pusing kamu sendiri loh. Masak aku gendong masih aku juga yang salah" bobby menggerutu.

"Nggak ada yang bilang salah papa" kataku setengah meledek dengan menekankan kata papa.

Kami berdua saling berbagi tawa. Menggiring hari bahagia hingga rasa kantuk menyelip disela percakapan kita.

Mataku perlahan memejam.

"Kamu jangan tidur dulu. Bentar aku ambilin vitamin kamu" bobby berlari kecil mengambil vitamin yang diberikan oleh dokter. "Nih minum dulu. Abis itu tidur nggak pa-pa" katanya sambil menyodorkan air minum dan vitamin yang tadi diambilnya padaku.

"Hmmm" jawabku malas dengan mata yang masih terpejam. Setelah dengan begitu berat menggerakkan tubuh, aku menelan pil-pil itu kemudian tertidur dengan sangat pulas.

Sialnya bobby memang sepertinya memiliki hobi menghilang. Saat mataku mengerjap tidak ada tanda-tanda keberadaan bobby yang kutemukan.

"Oppa" panggilku

✔Create Some Why  [END]Where stories live. Discover now