"Ibu marah-marah."

"Makanya Abang jemput? Makasih. Tapi, aku beneran sibuk." Ara berbalik.

"Umurmu sudah 26. Nggak malu bersikap seperti itu?"

"Ada hubungan apa sama Abang?"

"Sekalipun kamu anak tunggal, harusnya kamu bisa jaga sikap. Kamu yang salah kenapa kamu yang menghindar?"

"Siapa yang menghindar?"

Banyu heran, kenapa wanita di depannya tidak diam saja saat ia bicara. Ada aja balasannya.

"Aku ke sini jemput kamu. Ambil tas, kita pulang."

Kali ini Ara benar-benar meninggalkan tetangganya. Masuk ke kamar pribadinya dan mengunci pintu.

Di kamar ia menangis. Tetangga sok sibuk. Sok baik. Ngapain juga ke sini. Mulutnya pedas banget, gue sumpahin dapat bini mulutnya lebih pedes dari bon cabe.

Ara benar-benar kesal. Ngapain coba Banyu menyusul dirinya. Dia mau menenangkan diri, berpikir langkah ke depan bagaimana bersikap di depan Banyu, tapi yang sedang dipikirin, pola pikirnya entah ke mana.

Ditinggalkan Ara, Banyu mendesah kesal. Ia mau mengajaknya pulang, bukan dijadiin cunguk di sini.

Setelag mengunci rolling, laki-laki itu berbaring di atas bangku panjang beralaskan jaket Ara. Bantal ukuran mini dijadikan sebagai pengganjal kepala.

Angka jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Wajar kalau dirinya mengantuk. Kerjaan di bengkel bukan nyapu, tapi ngbabu habis-habisan.

Kalau di rumah dirinya bisa menghabiskan dua batang rokok sebelum tidur, maka di sini tidak bisa. Selain kedap udara, dirinya juga tidak mau berurusan dengan pemilik konter.

Dua manusia dalam satu bangunan namun berbeda ruangan itu, terlelap. Lupa masalah yang sedang dihadapi, lupa gunjang ganjing yang sering dimulai keduanya. Mereka sedang terlena dibuai mimpi hingga sapaan matahari sudah di pucuk atap menerawang bumi, keduanya masih memeluk raga dalam buaian berenda mimpi.

Tanya di balik bangunan dari toko sebelah tidak diketahui keduanya, perihal konter yang tidak terbuka hingga angka jam sepuluh siang.

Begitu juga di bengkel Banyu. Anak buah sudah standby, tapi belum tahu apa yang akan dikerjakannya karena kunci kamar mesin ada pada sang tuan.

Ara yang pertama kali menyadari dering ponselnya. Farida yang menghubungi dan menanyakan dirinya juga sang putra.

"Abang. Sudah siang."

Ara menepuk kasar bahu tetangganya yang berbaring menghadap ke arahnya.

"Abang."

Dehaman kasar dan berat terdengar. Untung bangunkan ini besar dan kedap suara. Jadi aman, nggak akan kedengaran keluar.

Mata Ara lagi terbentur pada dua tangan Banyu yang terlipat dan menyelip diantara dua pahanya.

Harus ke situ Bang tangannya?

"Abang!"

"Hem."

"Sudah siang. Tidurnya macam kebo!"

"Kebo ngatain kebo."

Eh!

"Aku udah bangun dari tadi."

"Benarkah?" tanya Banyu tanpa mengubah posisinya, tapi sudah membuka matanya.

Tatapannya teduh mengamati wajah gadis yang ia lihat saat pertama kali membuka mata.

Ranjang TetanggaWhere stories live. Discover now