Bab 13 :: Eksorsis

720 109 7
                                    

Dua hari terlewat dan Ten masih bersamaku. Berlaku selayak ibu, mengurusi ini dan itu. Tanpa terasa waktu pun sudah memasuki akhir pekan. Paman Johnny berjanji akan kembali malam ini.

Tiadanya tugas spesifik yang harus dilakukan, terlebih ketika aku tidak ingin terkurung di ruang yang sama bersama Ten, aku memutuskan untuk memenuhi agenda membersihkan halaman belakang. Menurut perkiraan, musim dingin akan datang sesuai jadwal. Tetapi aku memahami ada suatu mispersepsi dalam hal itu. Musim dingin akan datang lebih cepat tahun ini; satu minggu dari sekarang. Aku bergegas cepat menuju halaman belakang, dengan jaket tebal serta gagang sapu panjang sebagai tumpuan tangan.

Semilir angin terasa semakin dingin, menjilat kulit hingga merembes masuk menyapa tulang-belulang. Aku memutuskan untuk segera bergerak, setidaknya agar tubuh ini tidak terlalu merasa dingin secara berlebihan.

Menyapu dedaunan kuning di sekitar halaman, yang kemudian kutumpuk jadi satu di beberapa titik sebelum akhirnya dipindahkan ke kantung plastik besar berwarna hitam. Semua kulakukan seorang diri. Tidak mau membebani Ten secara lebih jauh, tentu saja. Ia sudah banyak melakukan hal-hal demi merawatku selama Paman tak ada. Dan meski tidak terlalu menyukainya, aku masih memiliki hati dan cukup kewarasan untuk tak lebih merepotkan dari itu.

Udara dingin ini terlalu menyiksa, bahkan banyak bergerak tidak terlalu membantu. Kedua telapak tangan serta ujung-ujung jariku serasa membeku.

Aku sudah akan kembali masuk setelah mengatur dua kantung plastik berisi sampah daun kering bersandar pada sisi tembok halaman, namun sesuatu yang berpendar di balik batang akasia membuatku membeku seketika. Aku mengerjap, berusaha menyesuaikan pandang, dan ternyata benar, ada pendar pudar yang tertangkap di sana. Aku lantas diam di tempat.

Berdiri dari jarak sekitar lima meter dari pohon membuatku mampu menangkap pendar yang melingkupi sisi-sisi batangnya dengan lebih jelas. Mengabaikan plastik-plastik sampah, aku pun melangkah perlahan dan mulai menyadari bahwa rasa dingin ini tidak semata-mata berasal dari angin musim gugur, melainkan sesuatu yang tengah berada di sekitar kediamanku.

Menyipitkan kedua mata, tanganku secara cepat namun hati-hati meraih garpu rumput bergagang besi yang tertidur tepat di samping kaki, menamengi diri apabila arwah di balik pohon bersikap brutal hendak menyerang. Ini penting. Makhluk seperti mereka tidak menyukai sesuatu seperti besi, cermin atau garam. Taeil pernah bilang bahwa banyak hantu sudah mulai membenci besi sebagaimana mereka membenci ladam yang terbuat darinya.

Aku menggenggam gagang garpu dengan kuat, bersama bibir bawah yang kugigit agak keras, serta langkah hati-hati yang tersusun setiap detiknya. Tidak ada suara lain kecuali siulan angin. Arwah di balik pohon berpendar semakin redup. Dan ketika hanya beberapa langkah lagi demi mencapainya, sebuah kepala melongok dari sana, mempertemukanku dengan sebuah wajah pucat.

Hantu berkabut hijau.

Aku berkedip, diam di tempat bersama garpu rumput yang kuangkat tinggi-tinggi, siap menyerang.

"Jangan!" bisik hantu itu.

Aku membulatkan mata, menatap penampilannya ketika ia keluar dari balik pohon. Merupakan sosok seorang bocah laki-laki, lebih muda dariku. Kemeja kotak-kotak kebesaran melekat di tubuhnya sementara celana jeans membalut kedua tungkainya. Kabut hijau menari-nari di sekitar sepatu vans yang ia kenakan.

"Apa yang kaulakukan di rumahku?" Rasa takut meninggalkan diri. Aku luluh dalam pandangan hantu bocah laki-laki ini. Garpu rumput yang semula kuangkat tinggi-tinggi, kini kuturunkan dengan pasti. Mengabaikan bahwa kabut hijau bisa saja mencelakaiku di sini.

Mata pucat bocah itu berkedip, sebelum akhirnya menjawab. "Kau pernah memanggilku."

"Memanggilmu?" Kedua alisku bertaut, tidak paham dengan apa yang ia maksud. Untuk apa dan kapan aku memanggil sosok tak dikenal? Hantu pula! "Kau mungkin salah. Aku tidak mungkinㅡ"

[✓] Lucid Dream [Bahasa]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon