Bab 2 :: Jelaga

1.3K 197 7
                                    

Sakit kepala mendera, bersambut warna hitam bagai semburan tinta gurita dari sela-sela tentakel menggelikan. Aku merasakan benturan pada kepala, sebelum akhirnya bisa membuka mata lebar-lebar dan menangkap sekelebat cahaya berada beberapa jarak di depanku, menyadarkan bahwa terulang lagilah kejadian itu.

Kapan semua ini akan berakhir?

Aku menangkap wajah sosok laki-laki; sepasang alis tebal, mata teduh seperti milik Ibu, hidung dengan ujung tidak terlalu runcing, dan pipi tipis sehingga menonjolkan tulang-tulang di bawah kantung mata. Dia menoleh ke arahku, menciptakan garis tipis pada bibirnya yang tersenyum. Aku hanya menatap dalam diam, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Sudah berbulan-bulan, namun aku baru bisa menangkap wajahnya sejelas sekarang.

"Hei," sosok itu bersuara. Gigi-geligi tampak kecil ketika ia membuka mulut demi mengucapkan kata singkat itu padaku. "Kau anak sekolah ini?"

"Tidak bisakah kau lihat?" Wow! Dan aku berbicara padanya. Benar-benar bicara padanya.

Sosoknya tertawa dan aku bersumpah itu terdengar menyenangkan di telingaku. Aneh sekali. Kabut hijau perlahan mendekati kami, berputar di bawah kedua kaki yang beralas sepatu nike model terbaru milik laki-laki itu.

"Aku jarang melihatmu."

"Karena aku tidak terlalu suka mengekspos diri."

Dia menggaruk tengkuk. "Bisa minta bantuan?"

Kali ini, aku terdiam. Tidak bermaksud mengabaikan, namun suara riak air dari arah kanan mengalihkan perhatianku darinya. Aku menoleh untuk menangkap apa yang terjadi, sementara laki-laki itu masih bertanya, beranggapan bahwa aku tidak menaruh perhatian. Namun, belum sempat menoleh penuh pada laki-laki itu lagi, aku sudah lebih dulu meraih pergelangan tangannya dengan kedua mata membuka lebar.

"Banjir bandang!" seruku dan segera membawa laki-laki itu berlari. Tetapi sapuan air terlalu cepat mencapai langkah kami, menghantam tubuhku hingga melepas genggaman pada tangannya. Tersengal-sengal, aku berusaha mencapai permukaan air ketika tubuh sudah tertelan jauh.

"Anak itu sudah ditakdirkan mati!" Sebuah suara bergaung dalam telinga ketika keheningan dalam air memerasku. "Kau tidak bisa menghentikannya, sebagaimana apa yang terjadi pada ibumu!"

Aku berteriak, mengisi berliter-liter air ke dalam paru. Lalu terbangun.

Aku bermimpi. Lagi. Dan bangun dalam keadaan penuh keringat. Lagi.

Entah sudah berapa kali aku mengalaminya. Hampir setiap hari, kurasa, selama beberapa bulan ini. Benar-benar hal baru. Dan malam ini, aku benar-benar bisa bicara dengan sosok itu.

Kondisi rumah gelap gulita ketika aku memutuskan melangkah keluar dari kamar demi mencapai dapur, meraih sebotol minum dari dalam kulkas. Cahaya hanya berasal dari pintu yang terbuka itu, namun kembali menghilang ketika aku buru-buru menutupnya.

Hawa dingin terasa dan aku menoleh ke arah jendela, mendengar suara gemerisik angin musim gugur, menyapu dedaunan yang sudah rontok sore tadi. Halaman belakang rumahku benar-benar butuh dibersihkan. Mungkin akhir pekan ini, berharap tidak terlalu banyak tugas sekolah yang menumpuk dan menghambat rencanaku.

Melangkahkan kaki keluar dari dapur, aku mendapati sosok Paman Johnny yang tertidur di sofa ruang tengah. Laptop di atas meja menyala redup, bukti bahwa pria itu menangani pekerjaan hingga lelah dan terjatuh di sofa. Aku hendak berjalan melewatinya, sebelum akhirnya menangkap cahaya di sudut ruangan.

Aku yakin rumah ini berada dalam keadaan gelap gulita, hanya cahaya dari laptop dan kulkas yang beberapa menit lalu kubuka. Mungkin jam digital yang bercahaya menunjukkan pukul tiga pagi di dekat teve juga perlu dihitung.

[✓] Lucid Dream [Bahasa]Where stories live. Discover now