Prolog

5.4K 408 29
                                    

[Buka mulmed untuk trailer. Perbedaan judul terjadi karena trailer dibuat sebelum cerita dipublikasikan.]

...

Aku menatap gundukan tanah di hadapanku dengan sia-sia, berikut orang yang menyapa tanpa jeda. Entah berapa kali berusaha berpikir bahwa ini tak nyata, semua berlalu percuma. Semua sudah terjadi, dan bodohnya aku tidak bisa menghentikanㅡatau setidaknya memiliki gambaranㅡbahwa hal seperti ini akan datang.

Mendongakkan kepala, aku menantang langit, memasang ekspresi terkuat yang bisa tercipta saat ini. Mungkin mereka ingin melihatku menangis, atau menampilkan pandangan terluka yang bisa membuat terbahak-bahak dari atas sana, menertawakan betapa lucu ketika hidup seseorang bisa dipermainkan. Alih-alih demikian, aku menampilkan sebuah seringai, benar-benar menantang siapa saja yang telah merebut nyaris seluruh dunia dan kehidupanku, dan meninggalkanku dalam kesengsaraan tak berujung.

Kurasakan sentuhan di bahu kiri, berikut desiran halus bayu, membawa wangi-wangi dari padang rumput tak jauh dari sini. Aku memandang langit yang mulai kelabu, tak lama akan menumpahkan segala tangis yang mungkin sudah ditahan lama, entah tangis bahagia atau perwakilan dari perasaanku.

Aku mendengus; meremehkan.

"Haechan."

Kudengar suara Paman, sangat lembut menyapu rungu. Menoleh ke arahnya, menyaksikan kegelisahan yang terpampang di sana: dahi mengerut, berikut pandangan menyorot lesu, belum lagi senyuman kaku yang diusahakan untuk menghiburku.

Aku memandangnya selama beberapa saat, dan kami sama sekali tidak bicara. Seolah masing-masing berusaha menemukan kalimat tepat yang bisa disampaikan pada saat seperti ini. Namun, walau memaksa hingga otak mendidih, aku tidak menemukannya. Semua menggelap, bagai langit di atas sana dan pakaian orang-orang di sekitar kami. Sekadar membuka mulut pun serasa tak mungkin bagiku.

"Akan hujan. Ayo berteduh." Paman Johnny berkata dalam suara lemah.

Aku masih mendongak, memandangi wajahnya, dan seketika merasa seolah tubuhku dikendalikan. Saat itulah aku tahu Paman Johnny tengah menarikku mendekati tiang beratap tak jauh dari tempat kami berdiri.

Kerumunan sudah banyak yang menjauhi gundukan, sebagian memilih pulang, sementara sebagian lagi menungguku sembari menyiapkan beragam kalimat bela sungkawa yang keterlaluan. Aku bisa melihatnya, apa pun itu yang akan datang.

Benar saja, tidak lama setelah mengingsutnya kami, hujan deras turun mengguyur. Semua tampak putih di mataku, berikut telinga yang terusik segala suara tak tentu. Di saat seperti ini, aku merasa bahwa lebih baik jika seluruh indra tertutup; ingin agar mataku terus menangkap keputihan seperti ini, bayang-bayang tak pasti, tertutup oleh rintik hujan yang mengaburkan. Berharap pula bahwa kedua rungu kehilangan kapabilitas menangkap suara, mengabaikan segala hal yang sekira akan terjadi di sekitar. Dan yang terpenting, pandanganku yang lain. Aku berharap bahwa tidak pernah memilikinya sejak awal, sebab di saat seperti ini, pandangan itu sama sekali tak bisa diandalkan. Tetap saja mengantarkan wanita itu menuju liang peristirahatan terakhir.

Merasa Paman Johnny kembali meraihku, sesaat setelah bicara pada seseorang yang berusaha mendekat; memberi pengertian bahwa bukan saatnya buatku bisa diganggu.

Paman tahu bahwa nyawaku seolah meninggalkan cangkangnya, bahwa hati pun hancur menjadi serpih-serpih atom tak berguna; walau aku tidak menunjukkan ekspresi itu sama sekali di depannya. Tempat sempit yang kami dan beberapa orang lain gunakan berteduh pun semakin lama semakin terasa sempit. Aku kehilangan udara. Tampak Tuhan lebih memilih mengambil alih pernapasanku daripada mata dan rungu.

Aku hampir terjatuh apabila Paman tidak menahan tubuhku. Saat menoleh, dia membolakan mata, membuatku mampu menatap pantulan diri yang tampak sangat menyedihkan di sana. Sekuat apa pun aku berusaha, ternyata tidak bisa. Aku lantas menertawakan diri sendiri.

"Tidak apa, Haechan. Tidak apa-apa." Racauannya tertangkap samar dalam telinga. Aku meraih lengan besar yang berusaha membuatku tetap berdiri, mencengkeram itu di bawah jari-jari lemah. Paman terus meracau di telingaku, yang sebagian tidak mampu kutangkap secara pasti. Dia terus berusaha menenangkan, dan harusnya aku bisa berteriak bahwa semua tidak baik-baik saja, dan kata-kata penenang itu tidak berarti apa-apa. Ketika dia memelukku, sadarlah bahwa semua hal memang sudah menjadi runyam. Sekuat apa pun menyombongkan diri hingga menantang langit, semua tetap terasa berat.

Aku menggeleng tanpa suara, sementara Paman mengusap kepalaku, menepuk-nepuk punggung yang entah sejak kapan mulai bergetar. Tangan yang kuyakini melemah, kini malah menunjukkan usaha terbaik untuk mencengkeram lengan Paman Johnny, seolah ingin meremukkannya sebagai bentuk lampiasan rasa. Dan secara tiba-tiba, suara auman tertangkap telinga, sangat jelas, bahkan membuatku nyaris tuli. Auman itu menyeramkan sekaligus menjijikkan; aku tidak pernah tahu bahwa akan ada suara seperti itu di dunia, bahkan memasuki rungu seolah-olah berasal dari mulutku sendiri. Sebelum mampu menyadari, wajahku yang basah membuat dekapan Paman Johnny semakin erat. Maka tahulah aku bahwa suara jelek tersebut memang berasal dari mulutku sendiri.

Semua sebab kekesalan dan kemarahanku. Pandangan yang dikatakan mampu menyelamatkan dan menjamin hidupku lebih baik dari anak lain, mulai kuteriaki sebagai kebohongan. Sebab, sedetail apa pun pandangan ini, tetap tidak bisa menampakkan gambaran soal ibu. Wanita itu pergi tanpa aku bisa menduga, atau bahkan mencegahnya. Pandangan ini hanya bentuk dari sebuah kepalsuan. Sebab, penglihatan mengenai masa depan hanyalah kebohongan.[]

[✓] Lucid Dream [Bahasa]Where stories live. Discover now