Bab 10 :: Kembali

722 133 14
                                    

"Ditahan?" Johnny tidak bisa menahan mata untuk tak mendelik, menatap pada sang atasan.

"Hanya untuk sementara, Johnny. Kalian tidak menunjukkan perkembangan, apa lagi yang bisa kami lakukan?"

Johnny mengusap rahang, sebelah tangan terpancang pada pinggang. "Seandainya kalian bersabar sedikit lagi. Hanya sedikit. Kami sudah sejauh ini. Hanya butuh sedikit detail lagi."

"Jangan khawatir." Sang atasan menepuk pundaknya. Walau kedua ujung alis bertaut, menunjukkan ketidaksukaan yang sama pada sang lawan bicara. "Kasus ini tetap milikmu. Kalian hanya perlu menahannya sejenak. Sekarang, fokus pada apa yang aku perintahkan." Setelah mengatakan itu, pria di atas usia 40 tersebut menyusun langkah pergi, meninggalkan Johnny yang frustasi, sementara Jungwoo menepuk pundaknya penuh empati.

"Sudahlah, Pak."

Johnny mengusap rambut dengan kasar. "Mereka pikir dengan menahan kasus ini akan berbuah baik. Pelaku semakin mencari celah untuk lari, Jungwoo," gumamnya, dan si pria berambut jingga hanya mengangguk-anggukkan kepala, seolah berpikiran sama.

Jungwoo tahu mereka tidak akan kehilangan jejak pelakunya.

***

Jungwoo tidak menyangka bahwa setelah sekian lama, ia akan kembali berakhir di sini. Di sebuah tempat yang ia harap bisa benar-benar lupakan, namun berakhir tak mungkin. Bekas sekolahnya.

"Ayo." Johnny muncul dari balik punggungnya, ikut menatap pada gedung sekolah yang telah sepi. "Sudah ada pekerjaan yang menunggu."

Mereka melangkah masuk, menyentuh wilayah sekolah, menapaki kaki pada lantai koridor panjang.

Ada sesuatu yang merasuk dalam benak Jungwoo saat ini, tentang reaksi hati saat menyentuh tempat itu lagi. Tidak banyak yang berubah. Semua seakan terulang kembali. Ia bisa melihat dirinya berlari dan tertawa di sekitar koridor, atau membayangkan ruang-ruang kelas yang terisi penuh akan murid, dengan ia menjadi bagian dari itu. Namun, tidak hanya ia. Seorang anak selalu berada di sampingnya, seorang rekan dengan hubungan kental. Jungwoo asyik bernostalgia.

Johnny menuntunnya menuju tempat yang sudah diarahkan bagi mereka: perpustakaan. Dan seiring dengan langkah tersebut, degup jantung Jungwoo berubah semakin cepat. Tubuh lelaki itu mengejang akan rasa dingin, memucat seketika, namun tidak ada suara. Bagaimanapun, ia sudah berhasil melewati segala hal seorang diri selama kurang lebih sebelas tahun. Jungwoo rasa waktu tersebut sudah cukup untuk membangun kembali segala remah yang sempat menyebar dari entitasnya. Lelaki itu yakin bahwa sudah bisa menghadapi ini.

Mereka tiba di depan pintu perpustakaan. Orang-orang tengah berkumpul dengan beragam ekspresi. Berseragam polisi hingga beberapa orang berpakaian dinas rapi, yang Jungwoo yakini sebagai guru-guru di sekolah ini. Johnny melangkah cepat dan mencapai mereka, sementara ia mengekor di belakang.

"Selamat siang." Seorang polisi menyapa, dengan sebelah tangan yang diangkat beberapa saat untuk penghormatan.

"Bagaimana kondisi lokasi?"

"Sudah diamankan, Pak. Mayat korban sudah dalam perjalanan menuju tempat autopsi."

Johnny mengangguk paham mendengar penjelasan itu. Ia menoleh ke belakang, mendapati Jungwoo yang lebih diam daripada biasa, dengan mata yang kini mengintip ke dalam perpustakaan.

"Jungwoo." Si lelaki berambut jingga segera menoleh setelah mendengar panggilan itu. Ia pun berjalan mendekat, menghadap Johnny yang menyadari wajah pucatnya. "Kau baik?" Pria itu mengerutkan alis, sejenak melupakan tujuan ia memanggil lelaki tersebut.

"Ya, tentu." Jungwoo mengangguk. Johnny pun tidak terlalu mempermasalahkan hal itu kembali. Yang terpenting baginya saat ini adalah penanganan kasus.

[✓] Lucid Dream [Bahasa]Where stories live. Discover now