Bab 1 :: Halimun

2.7K 262 24
                                    

Mata itu menatapku, menyelidik penampilan dari atas ke bawah, mengintimidasi sejauh yang mampu aku terka. Manik cokelatnya tidak seindah yang kutangkap dari mulut-mulut orang, belum lagi kantung menghitam di bawah matanya, sama sekali mengganggu penampilan. Sosok di depanku benar-benar tampak menyedihkan. Tipikal orang-orang yang dijauhi oleh kehidupan.

Mendecakkan lidah, aku mengangkat sebelah tangan demi merapikan surainya yang nyaris menutup mata. Sudah berapa lama ia tidak merapikan rambut? Bocah itu selayak tidak memiliki niatan untuk memperbaiki diri sendiri. Helai-helai hitam tersebut terasa kasar di antara jemariku, menebak bahwa memang bocah ini tidak tahu cara merawat diri. Atau mungkin enggan? Sebab, kehidupan mulai menjauhinya, dan dia tidak memiliki ketertarikan sama sekali untuk kembali mengejar.

Larut dalam pandangan bocah itu, aku sampai mengabaikan panggilan Paman Johnny. Baru ketika panggilannya terulang sebanyak tiga kali, aku menyahuti.

"Ya, Paman. Aku segera turun," seruku, pun memandang sekali lagi pada bocah itu, bocah yang adalah refleksiku itu. Dia benar-benar tampak menyedihkan, sebagaimana aku.

Merapikan rambut sekali lagi, aku berusaha membuat penampilan yang tidak akan membuat Paman Johnny sedih. Menjadi bagian dari rumahnya saja sudah kutebak sebagai kesedihan paling berat yang bisa dia alami, apalagi jika memandang penampilanku yang seolah tanpa syukur begini.

Paman Johnny adalah satu-satunya pihak yang rela mengambil alih kepengawasanku setelah kematian Ibu. Dia orang yang sangat baik, walau hingga kini belum juga menikah, padahal umurnya sudah akan mencapai empat puluh. Ia juga sangat menyayangiku. Maksudku, dibanding keluarga yang lain, baik dari mendiang ibu maupun ayah, semua enggan mengambil alih untuk merawatku. Aku mengerti alasan mereka. Lagi pula, siapa yang mau merawat dan hidup dengan anak berpsikis cacat sepertiku?

Setelah memandang bayangan sekali lagi demi mengecek penampilan dan yakin mengenai rasa syukur yang terpancar di sana, aku meraih tas dan meninggalkan kamar. Kedua kaki yang terbungkus kaus krem berjalan menuruni undakan tangga satu demi satu, sebelum akhirnya mencapai dapur, tempat di mana Paman Johnny sudah duduk santai di salah satu kursi makan, menungguku sembari membaca koran.

"Maaf karena bangun terlalu siang. Paman jadi harus menyiapkan sarapan sendiri." Suaraku terdengar pelan, bahkan untuk telinga sendiri. Kutatap wajah tegas Paman, yang memandangku dalam tatapan sulit diartikan. Namun kemudian, ia tersenyuman, agak kontras dengan struktur wajahnya yang menyeramkan. Setidaknya, itu sudah berhasil menenangkan pikiranku.

"Duduklah," katanya. "Selesaikan sarapanmu dan aku akan mengantarmu ke sekolah."

Aku menurut, meletakkan birit pada permukaan kursi di hadapannya, meraih selembar roti dan segelas susu yang telah disiapkan. Jemariku meraih selai dan melumeri permukaan roti dengan gerakan lunglai. Mata menatap sayu ke arah panggangan roti itu, yang permukaannya sedikit kecokelatan, serta remahnya akan berbekas di tanganku seiring dengan olesan selai. Tetapi, kerenggangan dalam saraf memaksaku berhenti; menurunkan roti, berikut sendok selai yang kugunakan untuk melumerinya. Dapat kurasakan tatapan bertanya Paman Johnny, namun aku belum berani mengangkat kepala. Seolah segala rasa lelah kembali datang menyerang, menekukku pada titik terendah.

"Haechan, ada yang salah?" tanya Paman, dan aku pun memutuskan menguras otak demi menyusun kalimat agar terdengar tepat.

"Aku bermimpi," mulaiku, "Dan ... apakah wajar apabila mimpi yang sama terus terulang?" Aku memandang Paman ragu, tidak berharap bahwa dia akan memiliki jawaban yang benar-benar kuinginkan.

Sungguh, beberapa minggu ini, aku merasa tersiksa. Sebuah mimpi asing selalu berkelebat dalam pikiran tiap malam. Segala gambar acak, tidak jelas, membuatku tidak mengerti, terus merongrong dalam bayangan gelap. Aku dipaksa mencari tahu hal-hal yang tidak kukenali. Meski kepala sudah berpikir ratusan kali, aku tidak menemukan jawaban. Setelah memutuskan merahasiakannya, sebab berpikir bahwa Paman akan menganggapku aneh jika mengatakannya, aku pun membeberkan juga ketika merasa tidak lagi kuat menahan segala hal sendirian. Mimpi sialan itulah yang membuat tampilanku sejelek ini!

[✓] Lucid Dream [Bahasa]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang