Sketsa 17: "Daddy Long Legs"

275 36 12
                                    

Suasana Sunflower Books & Coffee malam itu tidak seberapa ramai. Tempat makan yang memadukan konsep perpustakaan dan coffee shop ini paling-paling hanya terisi setengah saja dari seluruh kapasitas maksimal. Namun Dea tak peduli dengan semua itu. Dia bahkan tak peduli kalau coffee shop ini penuh atau kosong sekalipun. Yang penting malam ini dia akan bertemu dengan orang yang paling penting untuknya. Orang yang telah banyak membantunya melewati berbagai momen sulit. Satu-satunya orang yang paling ingin dia bahagiakan dalam hidupnya.

Malam ini dia akan bertemu dengan Om Pandji. Paman kaki panjangnya.

Sambil menyeruput secangkir coklat panas yang tadi dia pesan, Dea melirik jam tangannya. Pukul 19.42 WIB. Tadi dia memang sengaja datang lebih cepat dari waktu yang ditentukan. Selain karena ingin mempersiapkan diri, dia juga pengin menebak-nebak yang manakah Om Pandji. Apakah dia pria paruh baya yang duduk sendirian di pojok sambil membaca novel John Grissam? Atau dia pria kurus di dekat jendela yang terlihat asyik dengan korannya? Ataukah mungkin Om Pandji pemilik coffee shop ini? Ah, bisa jadi seperti itu. Makanya beliau sengaja mengajak Dea bertemu di coffee shop yang sebetulnya lokasinya agak nyempil di Dago Pakar ini dibanding memilih tempat yang lebih di tengah kota.

Aroma coklat panas kembali menyapa indera penciumannya. Aroma dan rasanya terasa begitu familier bagi Dea, membuat cewek itu teringat lagi pada cokelat panas yang dibuatkan oleh Aji di area kemping waktu itu.

Aji.

Setelah menyadari perasaannya sendiri, ada gelanyar aneh yang muncul setiap kali nama itu melintas dalam benaknya. Setiap dia memejamkan mata, sosok Aji dengan mudah hadir dalam bayangannya. Bahkan di tempat umum seperti sekarang, rasanya dia bisa mendengar suara Aji. Suaranya terdengar begitu nyata, begitu dekat, dan....

"Silakan pesanannya...."

Nah, kan? Bahkan suara waiter ini pun terdengar seperti suara Aji.... Ya ampun....

Sambil mengembuskan napas lelah Dea membuka matanya, dan.... Huh? Cewek itu nyaris merosot dari tempat duduknya saat melihat siapa yang berdiri di dekat mejanya. Dia shock.

"AJI?!"

Ternyata dia tidak sedang berhalusinasi. Cowok itu ternyata betul-betul berada di kafe ini, dan... uh, kenapa hari ini Aji keliatan keren banget? Dia terlihat cocok mengenakan kemeja hitam berpotongan pas badan dan apron merah marun yang melingkar di pinggangnya. Gaya rambutnya juga terlihat berbeda karena seluruh poninya disisir ke belakang. Saat Aji sedikit membungkuk untuk memindahkan piring yang ada di nampan ke meja, Dea bisa melihat jelas seluruh wajah cowok itu dan itu membuat jantungnya mendadak berdisko....

Eh, sebentar.

Lho? LHO? Jadi... ini kafe tempat Aji kerja sambilan?

Sama seperti Dea, Aji juga terlihat kaget. Cowok itu memang tidak menampakkan ekspresi berlebihan—seperti biasanya. Namun dari gerakan matanya yang membuka lebih lebar dari seharusnya, jelas terlihat kalau Aji kaget melihat kehadiran Dea di kafe ini.

"K-kamu kerja disini, Ji?" Dea kehabisan kata-kata. Sumpah, dia sama sekali nggak mengira akan ketemu Aji di kafe ini sekarang. Apalagi dia muncul tepat saat Dea sedang membayangkan keberadaan cowok itu. Rasanya jadi seperti sedang tertangkap basah melakukan sesuatu yang salah dan itu membuatnya malu. Tanpa sadar wajahnya memanas.

"Hu um," hanya itu yang terdengar saat Aji meletakkan piring berisi french fries di depan Dea. "Sendiri?"

"I-iya... Eh, ng-nggak..." wajah Dea memerah mendengar jawabannya yang terkesan labil. Cewek itu buru-buru menjelaskan, "Anuu... Maksudnya, ada janji sama orang. Tapi orangnya belum datang." Seketika Dea langsung memaki dirinya sendiri. Kenapa dia bisa segugup dan sesalah tingkah ini, sih?

Kamu, Matahariku [COMPLETE, SEGERA TERBIT]Where stories live. Discover now