13. Rocks In The Head

700 37 0
                                    

Waktu sudah menunjukkan pukul 1 dini hari. Tapi Niken masih belum bisa untuk terlelap. Satu pemikiran dalam kepalanya begitu mengganggu, pemikiran itu adalah; sebenarnya apa yang Niken kejar kali ini?

Tidak, bukan yang bertahta apalagi berharta. Ia hanya butuh rumah untuk tempatnya pulang. Ia hanya membutuhkan seseorang yang akan menjadi rumahnya kelak. Tempat ia berbagi kebahagiaan, keluh kesah dan berbagai hal remeh.

Tapi jangankan untuk mencari rumah tempatnya pulang. Menerawang isi hatinya sendiri pun masih sulit untuk Niken. Semuanya masih tampak abu-abu bagi Niken. Dan satu lagi hal yang masih Niken bingung juga ia sesali. Kenapa waktu itu ia mencium Alex? Itu adalah tindakan terbodoh yang pernah ia lakukan. Niken nyaris tidak sadar bahwa tubuhnya menentang kerja otaknya sejauh itu. Itu seperti bukan Niken.

Merasa kepalanya hampir pecah, Niken memutuskan untuk mandi dengan air dingin berharap air-air itu bisa meluruhkan apapun yang membebani kepalanya. Ia bahkan tidak peduli jika suhu dingin pada dini hari ditambah kucuran air dingin dapat membuat tubuhnya menggigil. Ia butuh sesuatu untuk pengalihan.

Dibawah shower yang mengucurkan air dingin, Niken kembali larut dalam lamunannya sendiri. Sejak kapan Niken menjadi sedramatisir ini. Maksudnya, ya, Niken mengaku bahwa ia ratu drama. Entah sudah berapa kali Niken dikhianati oleh mantan-mantannya. Ia memang patah hati. Tapi itu hanya bertahan paling lama satu minggu. Namun kali ini berbeda. Bertahun-tahun berlalu namun Niken memilih untuk tenggelam dalam kesedihan.

Memang ini bodohnya Niken, ia sudah mengharapkan masa depan bersama Arsen. Untuk pertama kalinya, Niken berandai-andai mengenai masa depan itu untuk ia bagi dengan Arsen. Satu tetes air mata Niken jatuh. Bodoh. Kenapa harus menangis lagi. Padahal Niken sudah berjanji kepada dirinya sendiri bertahun-tahun yang lalu untuk tidak menangisi Arsen. Tapi nyatanya, ia kalah.

Perlahan, tubuh Niken meluruh hingga ia duduk di lantai kamar mandi. Air matanya makin sulit dibendung. Rasa sesak itu kembali datang. Tapi kali ini ditambah perasaan sesak yang entah sebabnya karena apa.

Berdiri dari duduknya, Niken memutuskan menyudahi sesi menangis itu. Hal ini tidak akan berhasil membuatnya lepas dari apapun yang membelenggunya. Setelah memakai bathrobe, Niken mengambil buku notes dan pulpen lalu duduk diatas ranjang tanpa berniat mengganti bajunya dulu.

Ia harus memastikan apapun yang membuatnya tiba-tiba jadi jauh lebih merana seperti ini.

Dari satu kata yang memiliki andil besar dalam hal ini. Arsen.

Niken menulis lima huruf itu dengan huruf kapital.

· Dia khianatin gue.

Satu point berhasil Niken tulis.

· Gue marah sama dia tapi gak bisa.

Dua point berhasil Niken ketahui kejelasannya.

· Gue benci cara Arsen baik sama semua orang

· Kemarahan dan kekecewaan gue bener-bener maksimal waktu Arsen milih duduk aja bukannya ngejar gue yang milih pergi dari Sevel.

· Gue benci cewek itu.

· Gue kangen Arsen.

· Gue masih sayang sama Arsen.

Beberapa point lainnya berhasil Niken tulis pada selembar note itu. Dan pada point terakhir, dia memilih berhenti. Dia pandangi tulisannya sendiri. Tepat pada dua point terakhir. Inikah yang membuat hari-hari Niken suram? Begitu besarkah rasa rindu dan sayang itu terhadap Arsen sehingga ia merelakan seluruh isi otaknya hanya bisa memikirkan Arsen?

Tapi tidak. Rasanya ada yang belum Niken ungkapkan. Dan ada satu nama yang melintas di otak Niken. Alex.

Dengan kasar, Niken membuka lembaran selanjutnya. Menulis nama Alex dengan huruf capital dan bersiap untuk membuat point.

· Brengsek.

Ketika Niken akan menulis point selanjutnya, rasanya sangat sulit karena ia sendiri tidak tahu apa yang ia rasakan sebenarnya. Sekeras apapun Niken mencoba, hanya pening yang akhirnya ia dapatkan. Ia menyerah.

Pulpen dan memo yang ia pegang, ia buang begitu saja. Tubuhnya pun ia jatuhkan begitu saja diatas kasurnya. Ia pasrah. Apa yang akan terjadi, maka terjadilah.

Tatapan Niken masih terpaku pada langit-langit kamarnya ketika ponsel Niken berbunyi. Tangannya dengan cepat menjangkau ponsel yang ia simpan diatas nakas. Di layarnya tertera pengingat bahwa dalam satu bulan ia harus menggelar baby shower Hana.

Terima kasih Tuhan. Akhirnya Niken bisa melakukan sesuatu yang dapat menyibukkan dirinya dan memberhentikan segala pemikiran tidak penting dalam otaknya.

***

Hari itu setelah Niken pulang kerja, dia menghubungi salah satu event organizer saranan teman-temannya. Niken masih bingung dengan tema apa yang akan diusung. Mungkin EO tersebut akan merekomendasikan konsepnya lebih jelas saat mereka bertemu. Appointment sudah Niken buat. Yang ia lakukan hanya tinggal menunggu besok untuk obrolan lebih lanjut.

Pagi keesokannya, Niken sengaja ke ruangan Dave untuk bilang langsung bahwa ia akan menyelenggarakan baby shower untuk Hana dan meminta Dave untuk merahasiakannya dari istrinya itu. Niat Niken hanya untuk memberitahukan Dave saja, bukan minta izin apalagi minta budget. Tapi dengan santainya Dave malah memberikan kartu hitamnya untuk Niken.

Untuk sepersekian detik, Niken hanya speechless.

"Wah asli deh, gue kesini bukan buat minta budget lho, Bos. Gue ikhlas demi Allah."

"Iya, pake aja." Sesingkat itu jawaban Dave.

"Kita patungan aja deh, ya?"

"Gak usah. Pake aja kartunya."

Niken jadi gamang sembari melihat kartu hitam yang ada di tangannya. Pasalnya kartu kredit warna hitam begini punya limit yang besar. Niken jadi sanksi sendiri apakah ia bisa memanfaatkan kartu kredit ini dengan sebaik-baiknya.

"Gue pake budget gue dulu deh, ntar billnya gue kirim ke elo?"

"Kenapa gak pake kartu itu aja?"

"Nanti gue kalap, Bos. Jatuhnya bukan baby shower tapi acara resepsi kayaknya."

Dave terkekeh. "Asal cukup aja sama limitnya."

Niken tertawa garing yang dipaksakan tapi lama-lama malah ketawa beneran. "Bercandanya orang kaya begini banget." Kata Niken balik bercanda namun serius. Niken bukan keluarga kekurangan, namun keluarganya memang kebanyakan bekerja di BUMN atau tambang. Masih kerja dengan orang. Pun yang berwirausaha masih di skala menengah. Tapi beda dengan Dave, dari buyutnya memang sudah berkecukupan. Bisnis keluarganya terus berkembang, pun ada kerugian, mereka tetap bisa mengejar ketertinggalan. Semua itu karena keluarga Dave memang menjunjung tinggi sifat kekeluargaan, gotong royong dan menghargai proses juga progress sekecil apapun. Itu yang Niken salut dari bosnya.

"Saya serius." Dave kali ini membalas sambil tetap menilik dokumennya.

"Oh iya gue lupa lo agak susah bercanda." Kata Niken yang kini gantian ketawa garing. "Gue gak bakal bikin acara gede-gede gak apa-apa, kan? Hana gak bakal suka. Gue juga cuma niatnya buat kumpul-kumpul doang."

"Oke, Niken." Balas Dave.

Dengan semangat, ia berdiri dari sofa dan berjalan menuju pintu sambil berucap, "Baik pemirsa, yuk be ready kita baby shower-an di pesiar Labuan Bajo." Sesumbar Niken yang tentunya hanya bercandaan.

Setelah sepulang kerja, Niken lantas ke toko kopi dekat kantor untuk appointment EO yang sudah mereka rencanakan.

Setelah menimbang-nimbang informasi yang Niken berikan bahwa kepribadian Hana yang lumayan sederhana, maka EO tersebut menyarankan beberapa pilihan seperti bohemian, tropical, dan girly pink. Niken pikir ketiganya cocok untuk Hana, namun ia rasa tiga tema itu terlalu banyak yang pakai, terlalu pasaran baginya. Setelah dia melihat proposal bertema tropical, Niken berpikir bahwa ia perlu membuat sesuatu yang diluar dugaan namun tetap normal bagi Hana.

Jungle themed party.

InsanityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang