Lembar Satu

1.7K 179 38
                                    

Note : Charel dibaca Karel
____________________________________

Dengan gerakan cekatan, Senna menulis dengan cepat beberapa point yang disebutkan oleh Pak Galuh. Jika dihadapkan oleh dosen dihadapannya itu, semua murid tidak ada yang berani melawan ataupun protes dengan perlakuannya. Karena dari sekian banyak mahasiwa dikelas, mereka tidak bisa menebak mood Pak Galuh. Dosennya itu terlalu aneh bagi mereka.

Kenapa??? Karena dalam hitungan menit mood nya akan berubah, sebentar ramah, sebentar galak, lalu bertingkah sok lucu bahkan tidak segan untuk bergaya ala komika didepan para anak didiknya atau tiba-tiba dapat juga berubah menjadi sosok mario teguh. Mood dosennya itu susah untuk diprediksi.

Terlebih saat dosennya itu selalu memberikkan cacatan tugas tanpa menulis di whiteboard dan lebih memilih mengucapkannya secara lisan dengan kecepatan 62,5 Mbps layaknya kecepatan internet mobile di negara Norwegia. Alhasil membuat yang lain merasa keteteran jika harus menyalin omongannya yang cepat ke buku tulis.

Ya, meskipun sebenarnya para mahasiswanya tidak benar-benar menulis secara keseluruhan, beberapa dari mereka lebih memilih memanfaatkan aplikasi recording untuk merekam setiap perkataan Pak Galuh dari pada susah susah menulis.

Jika ada yang mudah, kenapa harus cari yang sulit.

Namun bagi pak galuh, Jika ada yang sulit, kenapa harus pakai cara yang mudah?

Senna mendesah pelan ketika mendengar dosennya itu menyebut jika tugas kali ini harus menggunakan teori aliran frankfurt, membuat perempuan itu lagi-lagi mendesah kesal lalu menatap tajam mengamati pergerakkan Pak Galuh yang keluar kelas dengan bersiul santai.

"Ini nih!" Keluh Nayla. "Lama-lama makanan pokok gue teori, bukan nasi lagi."

Senna mengangguk tapi entah apa yang dia angguki, hanya saja dia merasa kesal jika harus berurusan dengan sebuah teori. Teori dalam hidupnya saja belum sepenuhnya ia terapkan, "gue bahkan belum paham betul sama teori itu."

"Ck!" Nayla berdecit pelan mendengar penuturan Senna, bagi dia perkataan Senna barusan adalah bentuk kesombongan. "Nggak usah buat gue ketawa deh. Lo mau menyombongkan diri secara tidak langsung Sen?" Ujarnya pura-pura kesal.

Sungguh Senna tidak berniat menyombongkan diri, jika sedikit menggoda Nayla maka jawabannya adalah 'IYA'.

"Lo gak inget?" Lanjut Nayla dibarengi dengan Senna yang mengernyitkan dahinya bingung. "Waktu mata kuliah statistik, Bu Echa kasih kuis ke kita, lo bilang belum belajar dan nggak paham. Tapi lo lebih dulu selesai ngerjain kuis itu, terus dapet nilai A pula." Celotehnya panjang lebar seraya memasukkan beberapa buku tebalnya dan tempat pena-nya ke dalam tas.

"Waktu itu dewi penolong lagi ada dipihak gue, Nay. Makanya gue dapet A."

Nayla hanya tertawa garing mendengar jawaban dari Senna. Kemudian kembali mengalihkan pandangannya untuk menutup rapat zipper tas nya. "Iya deh iya, yang dibantu dewi penolong waktu itu sampe dapet A. Awas aja nih tugas pak Galuh lo dapet A lagi. Palingan juga menyombongkan diri lo." ujarnya lagi pada Senna sebelum berdiri dan hendak keluar kelas.

Tentu saja itu hanya bercanda, mereka berdua tidak pernah menaruh perkataan buruk yang terlontar dari mulut masing-masing kedalam hatinya. Bahkan perkataan kasar sekalipun. Itu sudah biasa dalam dunia persahabatan. Benar bukan?

Senna dan Nayla berjalan beriringan untuk keluar kelas. Bahkan mata Senna berbinar dalam sekejab ketika mendapati sosok orang yang berada didepan kelasnya itu. Namun sekejap merasa Senna merasa heran ketika melihat raut wajah lelaki itu terlihat murung.

AKASIA ║ ✔ [TELAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang