CHAPTER 4. SALTY COFFEE VS SWEET LIPS

795 90 58
                                    

Karya ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.

Sepanjang perjalanan menuju toko roti, aku hanya diam. Benakku penuh dengan keherananku sendiri atas apa yang terjadi. Lagi-lagi aku merasa ada bagian yang hilang dari ingatanku.

Aku ingat berencana melakukan kunjungan ke rumah Alrico untuk menemui kakak-kakaknya. Namun, aku sama sekali tak mampu mengingat apa yang kukatakan pada mereka.

Satu-satunya yang kuingat adalah pemandangan empat tubuh bertelanjang dada yang malang melintang tertidur pulas di lantai. Aku pun heran kenapa mendadak terpikat pada Alrico hingga bersedia diantarkan olehnya ke toko.

Aku merasa ada yang aneh dan salah dengan diriku saat ini. Seperti ada kepingan puzzle yang hilang, membuat diriku merasa tidak lengkap.

"Apa yang kau pikirkan?" tanya Alrico sembari menyetir.

Aku menoleh. Untunglah dia memakai kaos kali ini. Jika tidak, mungkin aku akan menendangnya keluar.

"Entahlah ...," gumamku. Aku memperbaiki posisi duduk, menatapnya intens. "Katakan padaku, jujur. Apa yang terjadi setelah aku melihat kakak-kakakmu tertidur di lantai? Kenapa aku tiba-tiba menjadi seperti orang linglung? Hal sama terjadi padaku pagi ini. Aku merasa melakukan sesuatu semalam, tetapi mengapa aku tak dapat mengingatnya?"

Alrico menarik bibirnya, membentuk garis datar di mulutnya. "Mmm ... tidak ada. Kau hanya datang ingin berkenalan dengan empat sepupuku, kau membangunkan mereka, lalu ... kau tiba-tiba pamit. Kupikir karena kau harus buru-buru ke toko roti."

Aku mengawasinya dengan tatapan tak percaya. "Sepupumu? Kukira mereka kakak-kakakmu. Kenapa kalian tinggal bersama? Kau pasti menyembunyikan sesuatu. Firasatku mengatakan itu."

Alrico tertawa kecil. "Aku tak berbohong, Cleona. Kaulah yang menyimpulkan mereka sebagai kakak-kakakku. Aku tak pernah bilang begitu. Itulah yang terjadi."

Ia menghentikan mobil, lalu menoleh ke arahku. "Kita sudah sampai. Kau ingin aku membukakan pintu?"

Aku melirik ke arah bangunan kecil yang terlihat seperti toko tua yang kuno, tapi unik sebelum memandangi Alrico dengan jengkel. "Tidak usah, lagi pula kau bukan pacarku."

Alrico menarik napas pendek. "Apakah itu berarti kau mau jadi pacarku?"

"Tidak! Aku belum putus dari Xavier!" sahutku sedikit ketus.

"Berarti kau akan jadi pacarku setelah putus? Kapan?" tanyanya penuh harap.

Aku mendelik. "Bukan urusanmu!"

Alrico menatapku dengan tatapan putus asa. "Hei, kau bahkan tidak menginginkan ciumannya semalam. Kau malah menikmati lumatanku. Kau lupa?"

"Aku sedang marah padanya saat itu! Nah, aku ingat bagian ... lumatan, tetapi apa yang terjadi setelahnya? Kenapa aku tidak ingat?!" cecarku.

Alrico menatapku bingung. "Kau yang lupa, kenapa malah bertanya padaku?"

Dia berpura-pura! Aku bisa melihatnya! Ia tahu sesuatu!

"Kenapa yang kulupakan adalah selalu tentang dirimu? Maksudku, setelah bertemu denganmu. Ah ... intinya aku tahu itu berhubungan denganmu, tetapi aku tak tahu apa itu!" teriakku kesal.

"Kau bicara apa? Aku tak mengerti," sahutnya dengan wajah polos.

Semakin ia bersikap begitu, aku makin yakin. Dia menyembunyikan sesuatu.

"Menjauh dariku! Kita tak usah bertemu lagi! Terima kasih sudah mengantarku!" Begitu selesai perkataanku, aku segera membuka pintu mobil dan keluar.

ALRICO - Lucis Series 1 (Completed)Where stories live. Discover now