6. White Chocolate

4.4K 63 7
                                    

Berulang kali Kia membaca ulang kartu ucapan misterius tersebut. Mencoba mengingat siapa seseorang yang menyebut sebagai pengagum rahasianya. Seingat Kia, setelah patah hati atas pengkhianatan Zyan dulu ia tidak memiliki teman laki-laki yang akrab. Kia sengaja menjaga jarak dengan laki-laki yang bukan dari keluarganya. Bukan karena Kia sombong atau memiliki standard pribadi untuk pertemanannya. Tapi Kia hanya ingin menjaga hatinya agar tidak sampai terjerumus ke dalam kesalahan yang sama, yaitu jatuh cinta kepada sahabatnya sendiri. Kia tidak ingin kisah itu terulang kembali. Maka tak heran jika Kia betah menjomlo begitu lama. Kia justru pasrah menunggu jodohnya datang sendiri. Karena Kia menyakini bahwa jodoh dan kematian adalah takdir yang tidak akan bisa berubah. Takdir yang sudah digariskan sejak manusia berusia 4 bulan dalam kandungan ibunya. Saat ruh anak manusia untuk pertama kali ditiupkan.

Tak ingin terlalu memikirkan surat misterius tersebut Kia lantas membuka laptop di hadapannya. Sembari menunggu proses laptop itu on Kia berdiri, melepaskan blazer berwarna cream yang dikenakannya hari ini lalu meletakkan pada punggung kursinya.

"Bismillahirrahmanirrahim," ucap Kia dengan jemari lentiknya mulai mencari folder yang berisi tentang keuangan perusahaan.

Akhir bulan seperti ini pekerjaan Kia akan lebih banyak karena ia harus mengecek laporan keuangan dari semua divisi di perusahaan. Mulailah Kia menekuni pekerjaannya dengan serius. Sebelum jam istirahat kantor Kia nanti ingin menemui Arfan pamannya. Dari pamannya itulah Kia banyak belajar tentang perusahaan. Bukan karena ayahnya tak cakap. Tapi ayahnya sekarang lebih fokus mengurus lembaga pendidikan dan lembaga sosial milik Alfarizi Corporation. Ardan sedang mambantu Azka kakaknya sebelum ayahnya tersebut mengambil masa pensiunnya. Ardan, ayahnya memang berniat pensiun di usia 65 tahun dan menyerahkan semua urusan perusahan kepada Kia dan Azka.

Tanpa terasa tiga jam berlalu dengan cepat. Kia mengangkat kedua tangan untuk meregangkan otot-otot di tubuhnya yang terasa kaku. Pun dengan kedua matanya yang terasa pedih karena terpapar sinar laptop yang sejak pagi menjadi titik fokusnya. Kia baru saja beranjak dari kursi saat terdengar ketuk pintu dari luar ruangannya.

“Masuk!” sahut Kia memberikan izin kepada siapapun yang saat ini berada di luar ruangannya.

“Selamat siang!” sapa seorang office boy memasuki ruangan dengan sopan sembari membawa sebuah paper bag di tangannya.

“Ada apa Roy?” ucap Kia menatap paper bag di tangan Roy yang menjadi pusat perhatiannya kemudian kembali duduk.

“Maaf jika saya mengganggu Bu Azkia, saya hanya mengantarkan paket untuk Ibu,” terang Roy lalu meletakkan paper bag tersebut di atas meja Kia.

Alis Kia berkerut dalam. Mencoba menebak siapa yang mengirimkan barang itu untuknya. Mungkinkah Bimo sang suami?. Tapi itu terdengar mustahil meskipun laki-laki itu adalah perayu ulung.

“Paket dari siapa? Apa dari suami saya?” Tanya Kia tanpa ingin melihat kartu nama yang menempel di sana.

“Emmm.” Roy baru saja bergumam sebelum menjawab saat tiba-tiba ponsel milik Kia yang tergeletak di samping laptopnya berdering.

Melihat nama Bimo tertera di layar ponselnya Kia kemudian menyuruh Roy untuk segera pergi setelah mengucapkan terima kasih. Setelah memastikan Roy ke luar barulah Kia menerima telepon dari Bimo sembari menatap penuh penasaran paper bag di hadapannya. Kia ingin memastikan jika Bimo lah pengirim barang tersebut.

Assalamu’alaikum,” sapa Kia dengan nada yang terdengar enggan.

Wa’alaikumsalam warohmatullohi wabarakaatuh,” jawab Bimo dengan antusias.

The Sweetest Love (End) Where stories live. Discover now