28. Plan

5K 735 51
                                    

Seoul, pukul tujuh malam, Jisung menghela napas bosan sambil terus melihat layar ponselnya. Sudut hatinya retak saat semua pesan hanya terbaca tanpa dibalas.

Salahkah dia mengucap rindu?

Tidak tahu dirikah jika dia mengirim tanda hati berwarna ungu itu pada Donghyuck?

Mengingat mereka kini bukanlah sepasang kekasih lagi. Tapi Jisung tahu Donghyuck mencintainya dan Donghyuck tahu Jisung juga. Lalu kenapa menahan diri?

Apakah Donghyuck masih membutuhkan waktu guna memulihkan perasaannya? Setidaknya itu yang Jisung pikirkan.

Pria tampan itu membuka pintu saat bunyi hel membuyarkan semua pemikirannya. Jeno datang dengan senyum manisnya.

"Hei brat! Aku akan menikah!"

Sebuah undangan bersampul emas diletakkan Jeno di atas meja ruang tamu Jisung. Pria itu kemudian menjatuhkan tubuh ke sofa ruang tamu Jisung sambil mengusap wajahnya berulang kali.

"Gila! Minggu depan aku tidak lajang lagi!" Jeno setengah berteriak.

"Hyung, serius menikah minggu depan? Gesit sekali!" Jisung bertanya seraya membuka undangannya.

"Salahkan ayah dan ibu mertuaku, mereka terlalu excited mendapatkanku sebagai menantu. Ditambah Renjun yang hanya diam saat ditanya setuju atau tidak. Ya begini jadinya,"

"Woah adakan bachelor party!" seru Jisung bersemangat. "Aku akan ajak Donghyuck hyung ikut serta. Kurasa aku akan mengajaknya menikah juga. Melihat Lucas hyung serta kau dan Renjun hyung membuatku bersemangat."

"Ya, Donghyuck masih mencintaimu. Kalian sudah lebih baik sekarang, tak ada salahnya memulai dari awal. Kami mendukung sepenuhnya!"

"Aku akan menghubunginya," ujar Jisung seraya meraih benda persegi itu dan membuka kontak. Namun tidak lama mati karena kehabisan daya. "Ahh sialan! Lowbat!"

Jisung melemparkan ponselnya ke sofa, kemudian mengambil jaket denim yang tergantung di dinding. "Aku keluar dulu,"

"Kau mau ke mana? Aku datang ingin menginap. Bosan di rumah,"

"Mencari sesuatu, mau tahu saja. Kalau hyung lapar, pesan makanan sendiri. Aku sedang miskin, belum gajian."

Jeno tertawa terbahak-bahak sambil menunjuk Jisung dengan satu tangan dan yang lainnya berkacak pinggang. "Oh astaga! Anak sultan bisa miskin juga. Okay, nanti aku pesan makanan banyak-banyak!"

Jisung berlalu pergi, meninggalkan Jeno sendirian di ruang tamu yang sederhana itu bersama televisi menyala. Dia melirik ke arah ponsel Jisung yang tergeletak mati begitu saja.

"Ahh bocah itu! Ponsel mati bukannya diisi daya," gumam Jeno pelan sambil memasangkan ponsel Jisung pada pengisi dayanya.

Jisung berjalan menyusuri trotoar, tanpa tujuan dan tanpa membawa sepeser uang pun. Dia hanya ingin mencari angin, menenangkan pikirannya yang sedikit kusut. Jujur saja, Jisung tak sabar menemui Donghyuck besok pagi.

Lucu sekali.

Rasanya seperti kau akan berkencan dengan orang yang kau sukai untuk pertama kali. Padahal mereka justru mantan kekasih. Senyuman itu, senyuman Donghyuck di bis kemarin benar-benar membuat otaknya buntu. Tak bisa memikirkan apapun kecuali ingin kembali pada Donghyuck.

Jisung akan memulai semuanya lagi dari awal.

Dia ingin mendekati Donghyuck.

Berteman baik.

Mendekatkan diri.

Mengenal ayahnya.

Sering bermain ke rumahnya.

Mengajaknya keluar, lalu dia akan meminta Donghyuck kembali.

Kemudian mereka akan melakukan kencan pertama setelah resmi balikan.

Jisung tersenyum sendiri, tak peduli para pejalan kaki menganggapnya gila atau apa. Dia hanya sedang jatuh cinta, bodoh sekali memang.

Jam di tangan menunjuk ke angka sembilan, Jisung berdiri tepat di depan tanda menyebrang jalan. Sepi, hanya ada dirinya sendiri. Netranya menangkap lampu merah menyala pada traffic light, isyarat penyebrang boleh bergerak.

Ketika tungkainya berayun, ada sesuatu yang berbunyi. Gelang pemberian Donghyuck terlepas begitu saja dan jatuh. Jisung mengurungkan langkah, memutuskan mundur dan mengambilnya. Saat itulah dia baru sadar ada sebuah sedan yang hilang kendali saat berhenti di lampu merah.

Dan berhenti tepat tidak jauh di depannya. Jisung menahan napas, jantungnya hampir berhenti berdetak. Nyaris saja, nyaris sekali. Seandainya dia berjalan, maka-

"Kau tidak apa-apa?" tanya beberapa orang yang menyaksikan hal tersebut.

Jisung mengangguk cepat. Tangannya masih memegang gelang itu dengan kuat.

"Aku melihat mobil itu oleng dan kau ingin menyeberang, tapi kemudian kau tidak jadi melangkah, malah menunduk. Syukurlah nak!" ujar seorang pejalan kaki.

"Aku menjatuhkan ini," Jisung menunjukkan gelangnya. "Ini pemberian kekasihku."

"Gelang keberuntungan, pantas saja! Pasti dia sangat mencintaimu, do'anya selalu menyertaimu bersama gelang ini. Kau harus berterima kasih padanya!" ujar yang lain.

Jisung tersenyum haru, Donghyuck benar.

"Semoga keberuntungan selalu menyertaimu."

Jisung menggenggam kuat gelangnya dan memutuskan pergi. Sekarang dia tahu harus ke mana. Dia ingin bertemu Donghyuck, tidak peduli soal besok. Dia tidak bisa menunggu, dia harus mengatakannya saat ini juga.

"Lee Donghyuck, i am coming."

to be continued
.
.
gais, tiga part lagi menuju ending. gimana kalian seneng atau sedih nih??

Toxic || JihyuckKde žijí příběhy. Začni objevovat