15. Better stay to go

7.2K 976 149
                                    

Tuan Lee baru saja memasuki apartemen saat menemukan pria jangkung dengan jaket denim sibuk berkutat bersama sesuatu di dapurnya. Jisung sedang membuatkan bubur untuk Donghyuck, setelah merawatnya dari demam tinggi dan pingsan selama berjam-jam.

"Nak Jisung?"

"Ohh, paman!" Jisung membungkuk hormat kemudian kembali mengaduk bubur nasi yang dia buat.

Tuan Lee meletakkan tiga kantung belanjaan di atas meja dapur. Membuat Jisung melirik dan penasaran, dari mana ayah tiri Donghyuck punya uang untuk belanja?

Biasanya Donghyuck malah melunasi hutang-hutang ayahnya dengan uang Jisung. Namun, jika ditelisik ke belakang, Donghyuck sudah jarang meminta uang lagi.

"Paman baru menang judi? Belanjanya banyak sekali," tanya Jisung to the point.

"Tidak, aku sudah berhenti. Apa Donghyuck tidak bercerita?" tuan Lee balik bertanya.

Jisung menggeleng pelan. "Tidak, akhir-akhir ini kami jarang bertemu. Aku menginap dari semalam karena dia demam,"

"Kupikir kalian putus," Tuan Lee duduk dan mulai bicara dengan wajah seriusnya, membuat Jisung memasang atensi penuh tanda tanya.

"Putus? Kenapa paman?"

"Yah, kukira pria sipit itu pacar baru Donghyuck. Kalau tidak salah teman kalian juga bukan? Paman lupa siapa namanya. Tapi dia cukup baik dan royal, hutang paman dilunasi, paman juga diberi uang lebih dan kemarin paman mulai bekerja di pelabuhan atas petunjuknya. Maka dari itu paman berhenti bermain judi," tuan Lee bercerita semua.

Jisung langsung tahu itu Jeno.

Dia tidak menyangka jika Jeno sudah terlalu jauh mencoba menembus kehidupan Donghyuck. Kali ini Jeno tak ingin gagal lagi, dan Jisung mendesis geram menyadarinya.

"Terima kasih nak-"

Tuan Lee tersenyum tulus. "Kau selalu ada untuk anakku. Kau adalah satu-satunya orang yang dekat dengannya selain ibu Donghyuck. Bahkan aku tak begitu bisa mengenali anakku. Donghyuck itu introvert. Dia pemalu, menutup diri dan sering minder. Kaulah satu-satu orang yang dia percaya untuk bersandar."

Jisung bersikap datar, tak bisa menyahut, kelewar kelu untuk bicara. Hatinya tertohok. Betapa jahat dirinya selama ini melukai Donghyuck, sementara pemuda itu menyerahkan hidupnya pada Jisung. Bahkan Donghyuck sangat jarang mengeluh dan menuntut.

"Mungkin bagimu dan anakku sendiri, aku ayah yang kurang ajar. Tapi jika saja dia tahu aku sangat menyayanginya, meski perangaiku kurang pantas."

Tuan Lee bangkit dari duduknya dan menyerahkan sesuatu dari dalam saku jaketnya, sebuah liontin. Jisung hanya menerimanya dengan tatapan bingung.

"Sebelas tahun aku menyimpan ini, liontin kesayangan istriku yaitu ibunya Donghyuck. Ini adalah benda yang kuberikan padanya saat kami menikah dulu, karena saat itu uangku tidak cukup untuk membeli cincin-"

Tuan Lee berhenti sebentar dan mulai terisak pelan.

"-tapi ibunya Donghyuck selalu berusaha tersenyum hingga akhirnya dia pergi tanpa aku siap ditinggalkan. Aku menyesal sekali."

Jisung masih diam. Hatinya serasa dicabik kuat oleh cerita itu. Pipinya seakan ditampar keras sekali mendengarnya. Dia tersindir, dia jadi takut, dia tak mau Donghyuck pergi.

"Jisung, paman tahu apa yang terjadi sebenarnya. Paman tahu tentang kau, anakku dan pemuda itu siapa. Karena itulah nak-"

Tuan Lee meletakkan liontin itu ke atas telapak tangan Jisung dan kemudian menepuk bahunya pelan. "-kau bisa menemani anakku sebisamu saat ini jika kau masih memiliki waktu untuknya. Lalu setelah itu menjauhlah, jangan beri Donghyuck harapan lagi. Anakku sudah cukup menderita,"

"Paman, aku-"

Perkataan Jisung terpotong bersamaan dengan tuan Lee mengeluarkan amplop coklat dari dalam sakunya. "Ini sedikit uang paman, semua uang yang kau berikan pada Donghyuck untuk melunasi hutang judiku akan aku cicil. Kami tidak mau punya hutang budi jika perasaan dan harga diri anakku yang kau berikan pada Donghyuck untuk melunasi hutang judiku akan aku cicil. Kami tidak mau punya hutang budi jika perasaan dan harga diri anakku yang dipermainkan. Aku ingin memperbaiki diriku sebagai ayah. Aku ingin Donghyuck bahagia."

•••

Renjun sedang memainkan ponselnya di sofa, dari belakang sepasang tangan lentik mengungkungnya dan mencium kening pria momin itu.

"Pagi sayang," sapa dosen wanita yang sekarang sudah resmi menjadi kekasihnya.

"Pagi juga," jawab Renjun singkat.

"Sedang sibuk berbalas pesan dengan siapa?"

Renjun menoleh sebentar ke arah pacarnya itu; Wendy Son dan menunjukkan layar ponselnya yang sedang menyala.

"Lee Jeno,"

Ada guratan kesal dan cemburu di wajah wanita itu. Dia cukup tahu jika Renjun dan Jeno pernah bersama walau sebentar. Tapi sekali lagi Wendy tak bisa menuntut banyak, konsekuensi dari hubungan gelap mereka berdua. Seperti yang kita tahu ada aturan yang menetapkan mahasiswi dilarang berhubungan di luar urusan akademiknya dengan dosen.

"Apa kalian masih dekat?" tanya Wendy berbasa-basi. Wanita itu duduk di sofa tepat di sebelah Renjun. Mereka sedang berada di apartemen Wendy.

"Tentu saja, kami sering berkumpul bersama. Mengapa? Kau cemburu?"

Wendy tertawa getir. "Kalau iya, lalu aku bisa apa? Kita sudah sepakat tak membatasi kehidupan masing-masing. Aku dengan suamiku dan kau dengan semua temanmu. Meski kau tahu sendiri, aku benar-benar menyukaimu."

Renjun berdiri dan mengambil kunci mobilnya, dia melihat ke arah Wendy sejenak sebelum kemudian bicara dengan sangat dingin.

"Kita sudah sepakat, hubungan ini berakhir beberapa bulan lagi saat aku wisuda. Jangan melibatkan hati. Ini hanyalah simbiosis mutualisme. Kau bebas memiliki aku untuk memenuhi perasaan cintamu dan aku bisa lulus dengan baik guna memenuhi permintaan ayahku. Hanya itu, tidak lebih."

to be continued
.
.

Toxic || JihyuckWhere stories live. Discover now