10. Step

7.5K 1.1K 214
                                    

Na Jaemin menghela napasnya pelan, semua pesan dan telpon tidak ada yang direspom oleh Jisung. Pemuda itu sedang menunggu di kampus, Jisung janji akan menjemput.

Jaemin melirik jam tangannya, sudah pukul enam petang. Dia memutuskan memesan taksi dan pergi sendiri menuju sebuah toko perhiasaan. Ya, harusnya dia dan Jisung pergi ke toko perhiasaan hari ini. Membeli cincin untuk acara pertunangan mereka. Tapi Jisung tidak tahu di mana.

Di dalam taksi, Jaemin melamun. Menatap pemandangan di sepanjang jalan dengan pikiran mengelana. Kemudian terkunci pada satu hal, Lee Donghyuck.

Pemuda yang dia ketahui sebagai sahabat Jisung. Saking akrabnya bahkan terkadang dia mendengar jika orang berkata mereka pasangan.

Jaemin tak begitu ambil pusing, toh Jisung berhak berteman dengan siapa pun. Dia tak pernah bicara langsung selama ini dengan Donghyuck tapi yang Jaemin yakin pemuda itu baik.

Tatapannya selalu merunduk tiap mereka bertemu, Donghyuck bersikap sopan dan menghormatinya. Sebuah fakta yang menggelitik Jaemin, Donghyuck bukanlah bajingan seperti Jisung.

Jaemin tahu bagaimana perangai calon suaminya itu. Tapi dia tidak punya kuasa membantah perintah orang tua, kebersamaannya dengan Jisung berbuah perasaan cinta. Dia bahkan mengabaikan fakta jika ada hati yang terluka di antara mereka. Mantan kekasihnya yang juga sahabat pacarnya, Lee Jeno.

Jaemin sampai di depan toko perhiasan, dia turun dan membayar taksinya. Namun, pemuda cantik itu teledor, seorang pencuri menyambar dompetnya. Dia sempat berteriak, namun jalanan lengang sebab hujan mulai turun deras.

Jaemin berlari menepi dan berteduh sambil terisak. Ponselnya mati dan uangnya hilang. Lalu bagaimana dia bisa pulang?

Jaemin memeluk kuat tubuhnya yang dibalut kemeja hitam. Rambutnya mulai basah terkena hujan, hidungnya mulai merah kedinginan. Hujan tidak baik untuknya. Dia harus menghindar.

Jaemin ingin pulang.





"Na Jaemin?"

•••

Donghyuck meletakkan dua cangkir teh madu ke atas meja. Kemudian dengan sigap dia melangkah menuju sofa, di mana pemuda ringkih itu meringkuk di balik dua lapis selimut tebal. Donghyuck memeriksa suhu di kening Jaemin, mulai normal tidak sepanas tadi.

"Aku buatkan teh madu, tolong diminum." Donghyuck menyodorkan cangkir itu dan Jaemin meneguknya hingga habis.

Donghyuck meletakkan kembali ke meja, lalu berjalan menuju kamarnya dan kembali bersama kaos dan lepis panjang.

"Jaemin, pakaianmu basah. Jika kau tidak berganti dengan ini, kau bisa masuk angin."

Donghyuck meletakkan bajunya di depan Jaemin dan kembali bicara pelan. "Kamarku yang itu, kau bisa ganti di sana. Aku akan membeli makanan dulu."

Selanjutnya Donghyuck pergi begitu saja, meninggalkan Jaemin yang hanya terdiam memperhatikan Donghyuck hingga pemuda itu hilang dari balik pintu. Dia meremat kuat selimut yang membalut tubuhnya. Dia mengambil baju milik Donghyuck dan menatapnya penuh makna.

Jaemin tersentuh.

Sangat tersentuh.

Dia memiliki riwayat kesehatan yang buruk jika itu soal hujan. Jaemin akan mengalami demam hebat kapan pun dia kehujanan. Jaemin sangat membenci hujan, dan menghindarinya.

Jisung tahu hal itu tapi tak pernah seperti ini. Pria Vancouver itu hanya akan mengantarnya pulang bahkan tanpa peduli jika dia telah menggigil demam karena hujan.

Tapi Donghyuck kelewat peduli.

Hari ini, Jaemin mengatakan pada dirinya sendiri. Dia menyukai hujan dan dia menyukai Donghyuck. Pemuda itu teman yang baik.

•••

"Jadi kau tinggal di sini?" tanya Jaemin sambil mengunyah nasi ayamnya.

Seporsi makanan kaki lima yang tak pernah dia konsumsi. Pemuda dengan status sosial tinggi seperti dia tak pernah mencicipi kuliner semacam itu. Kencannya dengan Jisung adalah tempat berkelas.

Tapi hari ini, Jaemin menyuapkan makanan sederhana itu ke mulutnya. Dan terasa nikmat.

"Ya," Donghyuck hanya menjawab singkat.

Donghyuck tidak merespon lebih, dia bahkan sama sekali tidak melirik ke arah Jaemin.

"Mengapa kau di sana?"

"Aku kecurian, dompetku hilang, ponselku mati dan Jisung tidak menjemput."

Donghyuck menghentikan kegiatan makannya, menatap Jaemin sebentar dengan penuh tanya. "Menjemput?"

"Ya. Tadinya kami akan memilih cincin pertunangan sore ini,"

Donghyuck terdiam. Dalam hatinya memaki keras siapa pun itu yang bernama Jisung. Karena jelas-jelas tadi pagi mulut manisnya berkata pada Donghyuck; _'Hari ini aku free. Tidak ada janji dengan siapa pun.'_

"Apa kau tinggal sendiri?" Jaemin kembali bertanya, memecah kebisuan.

Anak itu ingin mengenal Donghyuck lebih dekat. Sangat menarik untuknya, Donghyuck terlihat cukup menggemaskan.

"Ada ayah tiriku. Jam segini biasanya dia di luar," Donghyuck menjawab sambil menyerahkan sebotol air mineral.

"Terima kasih," Jaemin berucap ramah seraya tersenyum. "Kalau kau tidak menolongku mungkin aku sudah berakhir di rumah sakit,"

Donghyuck mengendikkan bahu. "Tak masalah. Aku hanya ingat mendiang ibu. Dia juga punya riwayat kesehatan buruk jika kehujanan. Aku menolongmu agar tidak bernasib sama seperti ibuku, dia meninggal karena sakit."

"Ahh maaf," Jaemin menyesal.

"Lupakan saja! Itu masa lalu," Donghyuck kemudian membereskan bekas makanan mereka dan meletakkannya di dapur. Kemudian dia kembali ke sofa dan menyerahkan ponselnya pada Jaemin.

"Kau bisa pinjam ponselku, hubungi Jisung untuk menjemputmu."

Jaemin terkejut.

"Apa kau mengusirku? Apa kau tidak nyaman aku di sini?"

"Tidak," Donghyuck mengambil kembali ponselnya dan duduk di sebelah Jaemin. "Hanya saja kau tidak takut orang tuamu mencarimu?"

Jaemin tertawa, kemudian memejamkan mata dan tersenyum kecut. "Tidak. Jadi kumohon sebentar saja aku di sini,"

"Mengapa?"

Jaemin menatap balik Donghyuck dengan tatapan sayunya, sarat akan rasa kecewa dan terluka.

"Hari ini saja kumohon, tolong sembunyikan aku dari Jisung. Aku sudah mencoba menjauh darinya, tapi hatiku diperbudak cinta. Aku lemah dan selalu kembali datang padanya. Lee Donghyuck, sejenak biarkan aku di sini. Jangan biarkan dia menemukanku atau aku datang padanya. Aku lelah."

to be continued
.
.

ngantuk.

Toxic || JihyuckWhere stories live. Discover now