"I love her. No, I really really love her. For me, she is my home, a place to back home. Tanpa Keira, aku mungkin masih berada di Jerman dan setia memikirkanmu, Angel."

Calista terkekeh pelan. "Aku benar-benar senang mendengarnya."

Kami melanjutkan perjalanan menelurusi sekitaran kompleks Eiffel sore ini. Kemudian, dia melanjutkan obrolannya. "Maaf ya, Ben. Karena keegoisanku, aku membuatmu hancur. Keputusanku untuk menikah malah membuatmu semakin terpuruk. Jadi, saat itu Aku hanya bisa mendoakan kebahagiaanmu untuk segera dipertemukan dengan wanita yang akan kau cintai dan akan mencintaimu setulus hati. Kau tau, meskipun aku begitu kesal pada sikap suamiku, aku sangat amat mencintainya. Seperti itulah cinta, Ben, kau tidak akan pernah bisa berhenti mencintainya walaupun dia membuatmu sangat kesal. Ternyata, Tuhan telah mengabulkan doaku, kau dan Keira akhirnya bersatu."

"Terima kasih, Angel. Aku juga bahagia melihatmu bahagia seperti ini."

"Tapi, aku benar-benar bersyukur karena pada akhirnya Keira berhasil mendapatkan pria yang begitu dia cintai. I'm happy for you guys."

Tepat ketika kami sudah hampir mencapai bawah menara Eiffel, tiba-tiba saja aku membeku di tempatku. Bagaimana bisa aku melihat pemandangan sialan ini di tempat seperti ini. Hatiku mencelos melihatnya. Tanpa sadar kakiku sudah setengah berlari menuju ke arah mereka, tanpa memedulikan Calista yang kebingungan seraya memanggil namaku berulang kali. Shit! Apa yang pria ini inginkan?

*****

KEIRA

Perasaanku benar-benar kacau sekarang. Pertemuan kembali dengan Calista, sahabatku, memang sangat membahagiakan bagiku. Lima tahun tidak bertemu dengannya dan hanya bisa berkomunikasi melalui telepon atau terkadang skype tidak akan pernah cukup untuk mengurai kerinduanku terhadapnya. Tapi, keberadaan Ben dan juga Calista di tempat bersamaan membuat perasaan takutku kembali muncul.

Pikiran buruk berhasil menguasi seluruh isi kepalaku. Bagaimana jika setelah ini Ben menyadari bahwa dia masih mencintai Calista, bukan aku? Lalu, Ben akan meninggalkanku. Bodohnya, aku malah mengatakan memiliki janji bertemu dengan klien, lalu meninggalkan mereka berdua begitu saja. Padahal aku berbohong. Hingga kakiku berjalan dengan sendirinya menuju ke bawah menara Eiffel, tempat pertama kali aku dan Ben bertemu malam itu.

Sore ini kawasan Eiffel tetap ramai dikunjungi para wisatawan, tapi tidak seramai saat malam menjelang karena suasana romantis yang tercipta. Sebuah bangku kosong berada tidak jauh dari tempatku berdiri, berhasil membawaku duduk di sana seorang diri. Kenangan-kenangan tentang kejadian dari lima tahun yang lalu hingga saat ini terus berputar di kepalaku.

Bukankah waktu benar-benar hebat? Ben bisa membuat wanita sepertiku jatuh cinta, padahal aku tahu saat itu Ben sangat mencintai Calista. Waktu juga membuatku mengandung serta memiliki Kenzo sebagai anak kami, pria kecil yang nampak seperti miniatur Ben. Tapi yang terhebat adalah waktu ternyata berhasil mengubah perasaan Ben. Dia jatuh cinta padaku, kami saling mencintai dan sebentar lagi akan segera menikah. Tanpa sadar Aku mendesah pelan sembari menatap kedua kakiku.

"Kenapa wanita cantik duduk sendirian di sini?" Sebuah suara sontak membuatku kepalaku terangkat.

Josh berdiri di depanku dengan baju santainya. Kedua tangannya dia masukkan ke dalam saku celananya. Senyum lembut khasnya tersungging manis di wajahnya yang selalu berhasil mengundang senyumku juga. "Josh."

"Hi. Ternyata jalan-jalan terakhirku di Eiffel membuat kita kembali bertemu. How's life, Kei?" Dia bergerak pelan untuk menundukkan dirinya di sampingku, tidak terlalu dekat tapi juga tidak terlalu jauh.

"Kurasa cukup baik. Kau sendiri?"

Dia meringis pelan. "Sama sekali tidak baik. Buruk. Saat menyadari aku harus menjauh dari wanita yang kucintai itu adalah yang paling menyiksaku. Kau sedang bertengkar dengan Ben?"

SHIT HAPPENS [RE-PUBLISH]Where stories live. Discover now