One

23 0 0
                                    

Selama perjalanan ke bandara, nyaris nggak ada percakapan apa-apa antara Dindra dan Rama. Dindra lebih banyak membuang pandangannya melalui kaca mobil di samping kirinya. Sementara Rama tetap berkonsentrasi menyetir dengan kecepatan konstan sambil berkali-kali menarik napas panjang dan berusaha menggenggam tangan kanan Dindra.

"Kamu mau aku bawain apa dari San Francisco? Nanti aku pasti bawain buat kamu..." Rama akhirnya buka suara juga setelah tiga puluh menit perjalanan sama sekali nggak ada conversation apa-apa dengan Dindra. "Kamu tinggal bilang aja sama aku, kamu mau apa. Nanti aku pasti cariin di SF. Kamu masih pengin tas Kate Spade yang waktu itu kamu tunjukin ke aku kan? Nanti aku beliin sekalian juga ya buat kamu."

Nggak ada jawaban apa-apa dari Dindra.

"Sayang... Udah dong marahnya. Kamu mau marah sama aku sampai aku berangkat nih?" Terdengar sedikit nada putus asa dari suara Rama saat Dindra untuk kesekian kalinya menepis tangannya. "Lagi pula apa sih yang bikin kamu sampai semarah ini sama aku?"

Namun tetap nggak ada respon apa-apa dari Dindra. "Aku nggak lama kok training di San Francisco-nya. Dalam tiga bulan, aku udah balik lagi ke Jakarta."

Kali ini Dindra yang menghela napas panjang, "Gini ya... Gimana aku nggak kesel dan nggak marah. Kamu itu training di San Francisco tiga bulan dan kamu baru bilang sama aku dua hari yang lalu. Rama Adhimas Pramono, tiga bulan itu cukup lama ya! Dan kamu baru bilang sama aku dua hari yang lalu!" Inilah super power Dindra, dia bisa nyerocos 250 km/jam.

Rama menyadari kebodohannya mengapa ia bisa sampai nggak peka kalau Dindra jadi semarah ini. Saking ribetnya preparation di kantor untuk training di San Francisco nanti, Rama sampai lupa untuk mengabari Dindra. Padahal rencana training-nya di SF ini sudah ada sejak satu bulan yang lalu. Jelas sudah kenapa Dindra sebagai pacarnya bisa semarah ini.

"I'm so sorry..." Menyadari kebodohannya, Rama sampai nggak tahu harus berkata apa-apa lagi. Saat ini ia lebih baik berkonsentrasi menyetir ke bandara karena ia harus mengejar flight-nya jam dua siang dan jalanan arah bandara mulai sedikit padat di Sabtu pagi ini.

Nggak ada percakapan apa-apa lagi antara Dindra dan Rama. Sisa perjalanan sampai bandara mereka habiskan dalam diam. Nggak heran Dindra bisa sampai semarah ini. Dalam waktu hampir dua setengah tahun berpacaran dengan Rama, bisa-bisanya Rama baru ngabarin H-2 sebelum keberangkatannya ke SF selama tiga bulan. Bagi Dindra, tiga bulan adalah waktu yang cukup lama. Dan ini adalah rekor business trip terlama untuk Rama.

Dari parkiran menuju gerbang keberangkatan, masih tetap nggak ada percakapan apa-apa. Tapi kali ini Dindra membiarkan tangannya digenggam oleh Rama yang saat itu sedikit kesulitan mendorong trolley yang berisi kopernya sambil menggandeng tangan Dindra.

Di depan gerbang keberangkatan internasional, Rama pun memeluk pacarnya itu cukup lama sekali. Dindra yang awalnya enggan menyambut pelukan Rama akhirnya melingkarkan tangannya di pinggang Rama dan membenamkan kepalanya diantara pundak dan leher Rama. Untung sekali hari ini Dindra memakai heels 12 cm, jadi ia bisa sedikit mengimbangi tinggi badan Rama.

Wangi parfum Christian Dior Sauvage for Men langsung menyeruak di hidung Dindra. Parfum yang selalu Rama pakai. Dalam dua bulan kedepan Dindra akan merindukan aroma parfum bercampur wangi tubuh Rama yang selalu dia suka.

"Tungguin aku ya tiga bulan ini. I'll be back before you know it Nadindra..."

Dindra mengangguk, masih dalam pelukan Rama sambil berusaha menahan air matanya yang sudah sangat sulit untuk ditahan lagi. Walaupun hanya tiga bulan, tetap saja Dindra cukup merasa begitu kehilangan sosok laki-lakinya itu.

Walaupun Dindra hanya merespon dengan anggukan kepalanya, tapi Rama cukup puas dengan jawaban Dindra.

"Dan saat aku pulang nanti, aku ingin melamar kamu di depan orang tua kamu. Nadindra Amandira Sjadrie... Menikah denganku ya... Will you?"

The Price of TemptationWhere stories live. Discover now