"Nyebut Tami... Sebut nama Allah dan bilang kamu ikhlas." Kata Dahlina memeluk Utami serta mengusap lembut punggungnya.

"Tapi aku memang pembawa sial kak. Orang tuaku saja meninggalkan aku sebatang kara, harusnya kalau mereka meninggal ikut membawaku."

"Tami jangan bilang begitu. Ayah sama Ibu orang tuamu juga. Dan aku ini kakak kamu. Ya Tami... Tolong jangan salahkan dirimu. Kakak mohon."

Setelah adiknya mulai tenang, ia dan suami mengantarkan Utami ke rumah sakit untuk melihat jenazah sang suami terakhir kalinya.

"Pergi kamu! Perempuan sial kamu! Aku sudah bilang pada anakku supaya jangan menikahi janda sial sepertimu, akhirnya anakku kena sialmu kan!" Kata seorang wanita paruh baya yang merupakan ibu kandung almarhum Fadillah.

Utami hanya bisa menangis tanpa suara saat perempuan itu memukulinya.

"Adikku bukan perempuan sial. Ini sudah jalan Nya. Sudah takdir Allah." Dahlina membela sang adik.

"Adikmu pembawa sial! Lelaki manapun yang menikahinya pasti akan mati. Dasar malaikat pencabut nyawa!" Maki perempuan itu lagi sementara Utami hanya bisa menangis.

Ingin dia teriak saat ini, bahwa ia juga terluka karena kehilangan sosok Fadil, pria yang begitu sabar menunggu dia mau menikah lagi, pria yang selalu memohon ke Bapak dan Ibunya agar membujuk dirinya mau menikah lagi. Pria yang baik, tampan dan mapan juga imam yang soleh.

Utami mau bilang jika ia bukan perempuan pembawa sial, tapi lidahnya kelu tak mampu mengeluarkan kalimat apapun, karena sisi tak logikanya berpikir hal sama dengan sang ibu mertua bahwa dia mungkin benar seorang perempuan pembawa sial.

"Kembalikan anakku janda sialan! Kembalikan anakku... Dia anak kesayanganku, susah payah dia ku sekolahkan, sudah jadi polisi, punya pangkat, tapi kena sial karena menikahi janda pembawa sial seperti kamu!" Lagi wanita itu histeris.

"Maaf Bu..." Tangis Utami. Haruskah ia juga berteriak pada wanita ini, jika ia juga tengah berduka karena baru saja kehilangan suami?

---

Dahlina menatap adiknya yang berbaring di ranjang, di kamarnya di rumah orang tua mereka. Adiknya tampak sangat murung dengan memegang Al-Qur'an kecil di sampingnya.

"Assalamualaikum, Apa kabar kamu..." Sapa Dahlina.

Utami terperanjat, lalu segera bangkit duduk sambil segera menghapus sisa air mata di wajahnya dan tersenyum manis.

"Wa Alaikum salam, kabar ku baik kak." Jawab Utami bangkit dari ranjang lalu menyalami kakaknya.

"Kakak apa kabar, udah lama nggak kemari." Kata Utami lagi memeluk kakaknya lalu cipika dan cipiki seolah dirinya baik-baik saja.

Ya... Sudah empat bulan lebih berlalu. Dahlina hanya sesekali mampir ke rumah orangtuanya selama ini untuk mengunjungi sang adik juga orangtuanya. Perasaan bersalah selalu hadir di hatinya setiap kali ia gagal melaksanakan niatnya berkunjung ke kampung halaman.

Sebenarnya Dahlina ingin sering berkunjung ke rumah orang tuanya, namun karena ia tinggal di Kota Surabaya sedang rumah orang tua berada lumayan jauh dari perkotaan ia hanya bisa mampir sesekali. Sekitar dua jam perjalanan dari kota Surabaya jika tidak macet.

Sejak menikah, Dahlina yang merupakan seorang dosen tinggal di Surabaya dengan suaminya yang seorang kontraktor. Kanos Sebastian.

Tadinya, Utami juga tidak tinggal di Desa.

Sejak lulus kuliah dia juga jadi seorang dosen di Jakarta, tinggal jauh dari orang tua bekerja di Universitas Indonesia. Berpacaran dengan Almarhum Rifky yang seorang dokter selama dua tahun lalu memutuskan menikah.

Perempuan Ke DuaWhere stories live. Discover now