9.Malang

14 3 0
                                    

Anonym's POV

Berlari, terus berlari menantang hujan di malam hari. Entah ke berapa kalinya hal rumit ini terjadi. Kakinya telah lemah, lelah membawa tas besar berisi pakaian. Ironiknya mengapa tidak uang dan emas saja yang ia bawa, jelas ia tak mempunyai itu semua.

Perutnya yang terus berbunyi, meronta meminta makan. Bagaimana tidak? dari siang ia belum memakan apapun, meskipun bekerja sebagai pelayan restaurant, ia tidak memiliki makanan yang cukup. Betapa getirnya ketika ia harus membuang sisa-sisa makanan di hadapan atasannya.

Pelayanan restaurant itu sangat ketat, pegawai tidak boleh mencicipi makanan-makanan yang lezat yang masih tersisa sehingga harus di buang sia-sia.

Mereka boleh makan pada waktunya saja dan itu pun dengan menu sederhana, tidak di sangka bukan? Pernah salah satu maid diam-diam mengambil dan membawa pulang sisa makanan itu, dan sialnya harus ketahuan oleh kamera pengawas. Besoknya  maid itu di marahi habis-habisan lalu di potong gaji. Oh astaga, betapa sulitnya mencari lembaran kertas yang bernominal itu.

Dan sekarang apa? ia harus terusir lagi dari kontrakan kecilnya karena sudah dua bulan telat membayar. Gaji nya hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari, sampai ia belum mampu menabung untuk uang kontrakan. Kenapa harus di malam hari? di temani hujan yang terus berjatuhan. Semua pakaian dalam tas yang di bawa pun   sudah basah.

"Hiks, papa, bantu aku–"

Lirihnya di iringi desiran suara hujan, ia mengungkapkan sesuatu pada subjek yang tidak ada di hadapannya.

Ia terus menantang hujan, dengan keadaan yang memprihatinkan. Ia terisak dengan suara yang tidak jelas.

Seketika seberkas cahaya menyinari tubuhnya dari belakang, ia menoleh dengan terenung, silau dan sangat lemas. Rambutnya yang tergerai, sebagian menutupi wajahnya.

Ternyata sebuah mobil, seseorang di dalamnya keluar. Buram di lihat, namun ia tahu seseorang itu adalah pria berpakaian necis. Memakai tuxedo berwarna hitam dengan rambut yang tampak berantakan.

Seseorang itu semakin dekat melangkah padanya. Ia menatapnya lekat. Menyisakan sebuah tanda tanya, mengapa seseorang itu menghampirinya?

"Kau."

Sorot mata tajamnya begitu jelas meski sesekali menyipit karena percikan air hujan. Terpancar kekuasaan dari cara berjalannya. Iya, pria itu.

Ia seketika mematung, namun merasa kesal melihat seseorang itu lagi.

"Mengapa? ada urusan apa kau kesini?!"

Lantangnya dengan wajah berderai air hujan, pria itu memajukan langkah.

"Dan kau? apa yang kau lakukan di jalanan? mari saya bantu."

Pria itu meraih tangan gadis di depannya, namun seketika di tepislah niat baik itu .

"Apa pentingnya bagimu?! Lepaskan dan pergi! saya tak ingin berurusan dengan anda lagi, saya sudah tidak bekerja di restaurant anda lagi!"

"Hah? Mengapa?!"

"Tak penting! apa perlu saya jelaskan, bahwa datangnya anda membawa bencana! Saya sudah lelah! pergi dari hadapan saya!"

"A, apa maksudmu?!"

Teriakan demi teriakan berbunyi nyaring meski tak jelas di ucap oleh gadis itu, karena suara hujan lebih mendominasi meski ucapan lantang sekalipun.

Billy hanya terdiam, menunggu gadis itu berhenti mengumpat padanya. Tampak gadis itu meneduhkan kelopak matanya, berdiri namun ada sesuatu yang membuat kakinya semakin melemah hanya untuk tegak berdiri

"Eh–"

Gadis itu hampir terjatuh, kakinya mulai tergelintir namun Billy sigap menopang  tubuh gadis itu.

"Astaga!"

Billy berdecak, ia mulai risau ketika berhasil menghamburkan tubuh itu dalam dekapannya. Ia segera membopong gadis itu ke mobilnya.

***

Angin meluluhkan perasaan tubuhnya, suhu tubuhnya semakin panas meski udara sangat dingin. Entah mengapa tubuhnya kadang merasa panas dan dalam waktu singkat merasa dingin. Begitu seterusnya.

Matanya yang terpejam dapat melihat bayang-bayang keburukan, apakah ia masih di tengah jalan? di temani hujan yang terus berjatuhan, apakah ia terbaring di jalanan dengan tungku api.

Tidak mungkin ia berada di tengah jalan, tetapi perasaanya ia tengah berbaring di kasur yang empuk. Apakah ini mimpi?  Apa mungkin ini di surga? Apakah pria itu menabraknya dengan mobil lalu ia meninggal, sebab itulah ia ada di surga. Ia harap, akan tidur selamanya jikalau dalam mimpi ia semenyenangkan ini.

Semakin jauh dirinya berada di alam mimpi, bunyi gemericik air hujan semakin jelas di dengar. Tapi mengapa air tidak membasahi tubuhnya?

Praaang!'

Bunyi pecahan kaca membuyarkan mimpi indahnya, ia terhentak membuka mata. Dia merasa bingung dengan keadaannya sekarang. Ia menoleh kiri dan kanannya. Tampaklah seorang pria keluar dari salah satu ruang, dia rasa kamar mandi, pria itu hanya memakai bathrobe. Sejenak terdiam, ia terbelalak dan berteriak sejadi-jadinya.

"Aaaa!!"

Pria itu tampak cemas, dan terkejut heran ketika gadis itu terus melemparkan bantal ke arahnya. Pria itu segera melangkah ke arah ranjang.

"Hei kau gila?! dasar tak tau di untung!"

Tatapan tajam dengan wajah tampan beradu satu tampak di depannya.

"Kurang ajar! pergi kau!" teriak gadis itu lagi.

"Cukup! Tenanglah!"

Ucapnya tegas namun penuh perhatian, pria itu duduk di samping ranjang lalu menyentuh kedua bahu gadis yang semalam di tolongnya. Seketika saja di dorongnya kasar dada pria itu, namun usahanya tak membuahkan hasil.

"Astaga!"

Gadis itu terkejut ketika tampak pakaian yang semula di pakainya telah berubah, kini ia memakai piyama berwarna putih dengan corak bunga. Wajah sendu gadis itu mulai cemas, ia mendekap tubuhnya sendiri.

"Kau jahat! Billy!" rutuk gadis itu lantang. Bahkan ia jijik menyebut namanya.

Ketakutan yang sejak dulu ada, mungkin terjadi. Gadis itu menundukan kepala, lalu menangis lagi dan lagi. Seketika Billy menatap iba, ia sungguh tak mengerti alasan gadis itu menangis.

"J, jangan–"

Billy menegang kaku, meski perlahan berusaha menghapus air mata di pipi gadis itu.

"Apa?!"

Gadis itu cepat mengedepankan wajah dengan tegas ke arah Billy, dengan air mata yang terus berjatuhan.

"Kau sudah mendapatkannya bukan? Kau sungguh jahat, membawaku disini, dengan pakaian yang berbeda! Itu semua karena kau! Hiks– aku tak punya apapun! Kau merenggutnya!"

"Apa? Apa yang kau bicarakan? Oh astaga, jangan menangis dan berteriak seperti itu! Jangan membuatku merasa bersalah. Tenanglah!"

Gadis itu menundukan kepalanya, terisak. Ia melihat setiap detil pakaiannya. Oh sangat pendek bahkan.

"Hiks, hiks– Aku takut ayah kecewa, Tuhan pasti marah, aku takut–"

Ucap gadis itu dengan bibir yang bergetar.

Love&thanks,
Chika(@siska_yukinara)

Iam PerfectWhere stories live. Discover now