8.Terpaksa

15 2 0
                                    

"Bill, project baru kita mungkin beberapa bulan lagi selesai. Kita hanya menyiapkan furniture nya aja. Menurut lo gimana?"

Sedangkan yang di tanya hanya terdiam merenung menatap ke arah depan, mata yang biasanya tajam pun tampak meneduh. Ada banyak hal yang sedang di pikirkan.

Rasanya kesempurnaan yang selama ini melekat dalam hidupnya, berkurang. Hanya karena persoalan yang belum ia temui jalan  keluarnya. Merenunglah ia, membelenggu dengan hati bimbang. Bahkan sampai saat ini ia tidak mampu fokus mengurusi pekerjaannya.

"Hello Bill!" rekan kerjanya melambaikan tangan di depan wajah Billy. "Lo kenapa sih?!" lanjutnya.

"Ah!" Billy seketika tersadar dari lamunan.

"Kenapa Frans?" tanya Billy yang memang tidak mendengarkan pertanyaan Frans sebelumnya.

"Lo yang kenapa? lo sehat kan? Begini, kita kesini mau ngomongin konsep furniture di perusahaan kita, lo mau nya yang gimana?"

Pembicaraan mereka memang tidak seformal ketika berada dalam kantor. Mereka sedang di luar untuk sekedar makan siang. Dan timbul'lah selintas pertanyaan itu dari rekan kerja Billy.
Sebagai pemimpin yang baik, Billy selalu menerima pendapat dari karyawan-karyawan nya. Hanya sekarang saja ada beberapa kendala yang di geluti oleh Billy hingga terdiam tanpa mendengarkan siapapun.

"Frans, gue kira kita ngomongin ini di lain waktu aja. Entah kenapa gue agak gak enak badan."

"Hah? Serius? udahlah, lebih baik lo pulang aja dulu buat checkup dan istirahat."

Billy menganggukan kepala menerima saran dari Frans.

"Umm, kantor lo yang handle dulu ya.  Thanks."

"Okay."

**

Di tengah perjalanan, perasaan dan pikiran rumit itu kembali datang. Billy dengan tiba-tiba mengerem mendadak mobilnya. Pikirannya sangat kacau.

"Arrgh!"

Ia mengacak rambut frustasi. Bagaimana tidak? semburat kekesalan itu nampak di wajahnya. Merah. Emosinya memuncak. Mengingat peristiwa minggu lalu saat ia menghadiri acara di keluarga Marissa.

Mama dari Marissa datang dan mengajaknya berbicara. Hanya ada dia, mama dan papa Marissa.

Dengan wajah membelenggu Mama Anne menatap wajah Billy, lalu memberi usapan lembut di bahu Billy. Sambil berpesan lirih.

"Billy, kamu anak yang sangat baik nak. Mama sangat bahagia, Marissa bisa mengenal kamu lebih dekat. Tapi–"

Ucapnya tertahan, itu membuat Billy penuh selidik. Anne sejenak melirik pada Subrata dengan ragu. Billy sangat menunggu perkataan ganjil nan menggantung yang di ucap oleh Anne.

"Tapi nak, ada sesuatu yang ingin kami sampaikan" tambah Subrata.  "Terimakasih telah membuat Marissa bahagia. Cinta perbedaan agama itu– di larang dalam kepercayaan kita." Jelasnya.

'Degg' seketika jantung Billy berdegup, ketakutannya terjadi, ia hanya bisa pasrah menahan getirnya pernyataan itu. Mendengkuslah ia perlahan.

"Umm ya– saya paham."  ia mengecap lidah dan mengangguk berat.

"Iya nak, kami juga akan menjodohkan Marissa. Bukannya kami membatasi hasrat kalian untuk bersama, maka dari itu– bukti cinta dari nak Billy pada Marissa yaitu, tolong tinggalkanlah– kami mohon, putuskan hubungan kalian. Ini demi kebaikan Marissa nak."

Billy mengangguk lalu tersenyum getir.

"Saya akan lakukan itu, meski sejujurnya itu berat bagi saya. Tapi tidak, jika itu yang terbaik bagi Marissa. Saya akan putuskan hubungan kita."

Anne dan Subrata tersenyum.

" Pasti nak Billy akan menemukan pasangan yang terbaik. Itu pasti nak, orang baik akan bersanding dengan di satukan dengan orang baik juga. Kami yakin."

"Terimakasih. Semoga Tuhan mendengar doa kalian, dan saya harap juga begitu. Salam untuk Marissa."

Itulah alasannya. Keburukan itu yang terjadi. Meski kini ia tahu bahwa Marissa menerima perjodohan itu, dia gadis penurut.

Kecintaan Marissa pada Billy, tidak sebesar cinta Billy pada Marissa. Billy hanya bisa pasrah sesaat mendengar keputusan itu. Apa mungkin ia harus terbang ke luar negeri? untuk sekedar melupakan patah hatinya?



Love&thanks,
Chika(@siska_yukinara)

Iam PerfectOù les histoires vivent. Découvrez maintenant